Jumat, 15 Januari 2010

SEKILAS TENTANG TEORI STRUKTURALISME



A. PENDAHULUAN


Sepanjang tiga atau empat puluh tahun silam, fungsionalisme dan strukturalisme barangkali merupakan tradisi intelektual yang terkemuka dalam teori sosial. Dalam beberapa aspek, strukturalisme dan fungsionalisme memiliki kesamaan asal usul, dan sama-sama memiliki sifat penting. Silsilah keduanya dapat ditelusuri kembali ke Durkheim, seperti yang tercermin untuk contoh fungsionalisme melalui karya Radcliffe-Brown dan Malinoski, dan untuk strukturalisme dalam karya Saussure dan Mauss.

Dalam karya Saussure secara berurutan karya para penulis aliran Praha, strukturalisme muncul sebagai pendekatan terhadap linguistik. Namun dalam bentuk teori sosial, strukturalisme paling tepat didefinisikan sebagai penerapan model-model linguistik yang dipengaruhi oleh linguistik struktural untuk menjabarkan fenomena sosial dan kultural.

Strukturalisme merupakan gerakan pemikiran yang kembali ke bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam wacana ilmu-ilmu sosial, strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke wilayah sosial. Realitas sosial adalah “teks” atau bahasa, dan bahasa selalu memiliki dua sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan sebagai sisi eksekutif bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda atau tata bahasa), dan sebagai “tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified). Semenjak strukturalisme inilah muncul pendapat bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter (arbitrary) .

Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam bidang antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh apra ahli bidang linguistik. Proses inilah yang kemudian melahirkan strukturalisme Levi-Strauss ini.

Untuk selanjutnya perkembangan teori dan teoritisi strukturalisme akan dideskripsikan melalui dua tokoh teori strukturalisme, yakni Ferdinand Saussure dan Levis-Strauss. Kedua teoritisi strukturalisme ini dalam teori-teori sosial memberikan kontribusi yang relatif dominan terkait kemunculan teori strukturalisme.


B. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA FERDINAND DE SAUSSURE

Riwayat Hidup Ferdinan du Saussure

Ferdinand de Saussure lahir di Genewa pada tanggal 26 November 1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang beremigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann .

Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles dans les langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doktor (dengan prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris.

Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahkan gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa, Saussure didaulat sebagai bapak strukturalis. Saussure mengatakan, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial).

Seperti yang ditunjukan Saussure dalam karyanya Course in General Linguistics, dalam sejarah linguistik, pendekatan Saussure pada umumnya dianggap menentang dua pandangan kontemporer yang berpengaruh tentang bahasa. Pertama, pandangan Lancelot dan Grammaire de Port Royal, karya dari Arnaud, di mana bahasa dilihat sebagai cerminan pikiran dan didasarkan atas logika universal. Bahasa dipandang sebagai sesuatu yang bersifat rasional. Pandangan kedua datang dari ilmu linguistik abad kesembilan belas, dimana sejarah bahasa tertentu dianggap bisa menjelaskan situasi bahasa pada masa yang sama. Dalam kasus kedua, bahasa Sangsakerta yang merupakan bahasa suci India Kuno yang dianggap menjadi bahasa yang tertua, diyakini menjadi bahasa yang memberikan hubungan saling keterkaitan dengan semua bahasa, sehingga pada akhirnya bahasa dan sejarahnya menjadi satu kesatuan.



Teori dan Karya Ferdinan de Saussure

Strukturalisme adalah cara berpikir yang mendasari semua pemikiran abad modern ini, dan linguistik merupakan salah satu ilmu yang paling sistematis dalam bidang humaniora. Kedua kegiatan itu dasar-dasarnya diletakkan oleh sarjana Swiss, Ferdinand de Saussure, pada awal abad ke-20 dalam kuliah-kuliahnya yang berjudul Cours de Linguistique Generale Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan .

Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.

Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya, epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur pengetahuan mengupas unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah struktur karya maupun bahasa.

Dalam pandangan Steven Best dan Douglas Kellner, strukturalisme merupakan konsep-konsep struktural linguistik dalam sains manusia yang mereka gunakan untuk merekonstruksi dasar yang lebih mapan. Levis-Strauss, misalnya, menerapkan analisis linguistik terhadap kajian sosial mitologi, sistem kekeluargaan dan fenomena antropologis, sedangkan Lacan mengembangkan psikoanalisa struktural dan Althusser mengembangkan Marxisme struktural. Itulah sebabnya, kenapa strukturalis diatur oleh kode dan aturan-aturan yang tak sadar, seperti ketika bahasa membentuk makna melalui serangkaian oposisi biner yang berbeda-beda, atau ketika mitologi mengatur prilaku makna dan teks menurut sistem atau aturan kode.

Saussure adalah orang yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa untuk memahami sistem tanda atau simbol dengan menggunakan analisis struktural dalam kehidupan masyarakat. Saussure mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, alasannya, karena bahan penelitiannya menggunakan bahasa yang bersifat otonom. Bahasa, menurut Saussure, adalah sistem tanda yang paling lengkap karena mengungkapkan gagasan struktural yang terungkap dalam sistem tanda dan simbol tersebut. Dengan demikian, bahasa hanyalah penting dalam sistem interdisipliner yang tercakup pada wilayah nilai dan makna sehingga memperkuat landasan filosofis yang kita analisis. Kajian Saussure memang tak lepas dari aspek linguistik, sehingga analisis strukturalisme yang digagasnya mempunyai relevansi dengan sistem tanda maupun bahasa. Itulah kenapa, strukturalisme berupaya mengisolasi struktur umum aktivitas manusia dengan mengaplikasikan analogi pertamanya dalam bidang linguistik.

Seperti diketahui, bahwa lingiustik struktural melakukan empat perubahan dasar. Pertama, linguistik struktural bergeser dari kajian fenomena linguistik sadar ke kajian infratuktur tak sadarnya. Kedua, linguistik struktural tidak melihat pengertian sebagai entitas independen, dan menempatkan hubungan antar pengertian sebagai landasan analisisnya. Ketiga, linguistik struktural memperkenalkan konsep sistem. Keempat, berusaha menemukan sistem hukum umum.

Walaupun melakukan perubahan secara mendasar, strukturalisme yang digagas Saussure banyak mendapatkan kritik pedas dari berbagai filosofis yang kompeten dalam bidang strukturalisme. Salah satunya adalah Derrida yang secara tegas mengkritik landasan filosofis strukturalisme Saussure. Pertama, ia meragukan kemungkinan hukum umum. Kedua, ia mempertanyakan oposisi antara subjek dan objek, yang menjadi dasar diskripsi yang objektif. Menurut Derrida, diskripsi objek tidak dapat dilepaskan dari pola hasrat subjek. Ketiga, ia mempertanyakan struktur oposisi biner. Ia mengajak kita untuk memahami oposisi bukan dalam pengertian lain, tetapi harus didasarkan pada pemahaman yang holistik mengenai persamaan yang seimbang, sehingga tidak terjadi pertentangan gagasan yang hanya akan melahirkan kejumudan dalam ranah filsafat.

Namun demikian, kita harus yakin bahwa tujuan seluruh aktivitas strukturalis, dalam bidang pemikiran maupun bahasa adalah untuk membentuk kembali sebuah objek dan melalui proses ini, juga akan diperkenalkan aturan-aturan fungsi dari objek tersebut. Sehingga, strukturalisme secara efektif merupakan kesan objek (simulacrum) yang menghasilkan sesuatu yang bisa dilihat atau bahkan tidak menghasilkan ketidakjelasan dalam objek natural. Dalam konteks inilah, strukturalisme menekankan pada penurunan subjektivitas dan makna yanng berbeda dengan keutamaan sistem simbol, ketidaksadaran, dan hubungan sosial.

Dalam model ini, makna bukan merupakan ciptaan dan tujuan subjek otonom transparan yang dibentuk melalui hubungan dalam bahasa, sehingga subjektivitas dilihat dalam konteks konstruksi sosial dan linguistik. Itulah sebabnya, kenapa parole atau kegunaan khusus bahasa oleh subjek-subjek individual ditentukan oleh langue, atau sistem bahasa itu sendiri. Analisis strukturalis baru dalam beberapa hal merupakan produk perubahan linguistik yang berakar dari teori semiotika Saussure. Ia berpendapat bahwa bahasa dapat dianalisa dalam hal hukum operasi terakhirnya, tanpa mengacu pada sifat dan evolusi historisnya, sehingga Saussure menginterpretasikan tanda linguistik (linguistic sign) sebagai sesuatu yang terbentuk dari dua bagian yang terkait secara integral atau sebuah komponen akuistik-visual, tanda dan komponen konseptual, dan petanda (signified). Maka tak berlebihan, kalau Saussure menekankan dua sifat bahasa yang merupakan nilai terpenting dalam memahami perkembangan teori kontemporer. Pertama, dia melihat tanda linguistik bersifat arbiter, yaitu tidak ada hubungan alamiah antara tanda dan penanda. Kedua, dia menekankan bahwa tanda merupakan sesuatu yang berbeda, yaitu sistem makna telah memperoleh signifikansinya. Karena di dalam bahasa, hanya terdapat perbedaan-perbedaan "tanpa term-term positif" .

Berangkat dari analisis strukturalisme di atas, gagasan yang paling mendasar dari Saussure tentang strukturalisme adalah sebagai berikut. Pertama, diakronis dan sinkronis. Yaitu, suatu bidang ilmu yang tidak hanya dapat dilakukan menurut perkembangannya, melainkan juga melalui struktur yang se zaman. Kedua, langue-parole. Langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. Ketiga, sintagmatik dan paradikmatik (asosiatif). Sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan karena bersifat asosiatif (sistem). Keempat, penanda dan petanda. Saussure menampilkan tiga istilah dalam teori ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier), dan petanda (signified).

Menurutnya, setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tak terpisahkan, karena masing-masing saling membutuhkan. Dengan demikian, gagasan strukturalisme Saussure lebih menekankan pada aspek linguistik yang berupa bahasa, sistem tanda, simbol, maupun kode dalam bahasa itu sendiri. Sehingga tak heran, kalau Saussure dikenal sebagai bapak linguistik yang sangat kompeten dalam menganalisis makna dibalik teks bahasa maupun simbol-simbol yang melatarbelakanginya.

Bagi banyak orang, seperti ahli antropologi Claude Levi-Strauss, atau ahli sosiologi Pierre Bourdieu, atau ahli piskoanalisis Jacques Lacan, seperti jugan Roland Barthers dalam kritik sastra dan semiotika, pandangan Saussure ini membuka jalan bagi pendekatan yang lebih tajam dan sistematis terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan, pendekatan yang berusaha secara serius untuk memahami keunggulan lingkup sosio-kultural pada manusia.

Mungkin keberatan utama pada penerjemahan penekanan Saussure terhadap struktur ke dalam kehidupan sosial dan kultural adalah karena ia memberi cukup banyak kesempatan pada peranan praktek dan otonomi individu. Upaya kebebasan manusia sebagai hasil dari kehidupan sosial. Dan bukan sebagai asal usul atau sebab, menjadikannya di mata beberapa peneliti tampak agak terbatas.

C. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA CLAUDE LEVI-STRAUSS
Riwayat Hidup Claude Levi-Strauss
Levi-Strauss dilahirkan pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Ia adalah keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss seorang artis dan juga anggota keluarga intelektual Yahudi Perancis (Intelectual French Jewish familily). Sedangkan ibunya bernama Emma Levy. Minat utama Levi-Strauss sebenarnya adalah ilmu hukum. Ia mempelajari hukum di fakultas hukum Paris pada tahun 1927. Di tahun yang sama ia juga mempelajari filsafat di universitas Sorbonne. Ia pernah sukses dalam bidang hukum ketika ia telah mendapatkan licence dalam bidang hukum. Penguasaan dalam bidang hukum mengenai aliran-aliran filsafat materialisme historis ini turut mendorong kesuksesannya dalam bidang antropologi.

Hal yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap loyalitasnya di bidang antropologi adalah ketika ia membaca buku Primitive Society yang ditulis oleh Robert Lowie. Buku itu cukup mengesankan bagi Levi-Strauss dan mendorongnya untuk mengadakan beberapa studi mengenai masyarakat primitif. Bahkan ia menjadi bosan mengajar di Mont de-Marsan lycee dan berkeinginan untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.

Apa yang diharapkan oleh Levi-Strauss, akhirnya terkabulkan setelah ia berkesempatan menjadi pengajar di Universtias Sao Paulo, Brazil. Di universitas ini ia memiliki kesempatan untuk keliling ke daerah-daerah pedalaman Brazil, serta mengunjungi berbagai suku Indian yang selama itu boleh dikatakan belum terjamah oleh peradaban Barat. Dari ekpedisi yang di dukung oleh Musee de 1’Hummed dan musium di kota Sao Paulo ini memberi kesempatan kepadanya untuk mempelajari orang-orang Indian Caduveo dan Bororo.

Pengalaman perjalanannya menjelajah daerah-daerah terpencil itu ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul Tristes Tropique. Buku ini bercerita tentang penderitaan orang-orang Indian di belantara Amazone. Berawal dari buku inilah yang menjadikan Levi-Strauss terkenal sampai kenegara asalnya yakni Prancis. Ia bahkan telah menghasilkan suatu karya yang sangat penting di bidang antropologi yang sesungguhnya sangat jauh dari studi formal yang dimilikinya.

Karir Levi-Strauss sempat mengalami kendala saat ia diberi kewajiban militer. Ia ditugaskan dibagian pos telekomunikasi di bidang sensor telegram. Sampai akhirnya ia diangkat menjadi liaison officer, yaitu petugas penghubung. Namun dalam situasi yang seperti itu tetap tidak menghalangi dirinya untuk menjadikannya seorang professor. Ia pun akhirnya dibebaskan dari kewajiban militer setelah menjadi seorang professor. Halangan tidak hanya sempai disitu, ia juga mengalami diskriminasi ras. Ia dipecat dari jabatannya karena ia adalah seorang Yahudi. Akhirnya Levi-Strauss diselamatkan oleh program Yayasan Rockefeller yang memiliki program penyelamatan ilmuwan dan pemikir-pemikir Eropa berdarah Yahudi di Amerika Serikat. Dari program ini Levi-Strauss berhasil datang ke New York dan selamat dari pembantaian tentara Nazi yang anti terhadap orang-orang Yahudi.

Di daerah Greenwich Village, Levi-Strauss tinggal. Di kota New York inilah Levi-Strauss semakin banyak memiliki peluang mengembangkan keilmuannya. Ia banyak berkomunikasi dengan para ilmuan buangan dari Prancis, seperti Maz Ernst, Franz Boas, Ruth Benedict, A.L. Kroever dan Ralph Linton. Ia pun berkesempatan mengajar mata kuliah etnologi di New York Ecole Libre des Hautes Etudes, yang didirikan oleh para intelektual pelarian dari Prancis.

Selama hidupnya Levi-Strauss pernah menduki jabatan-jabatan setrategis terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1935 sampai 1939 ia diangkat sebagai seorang Professor di Universitas Sao Paolo yang kemudian melakukan beberapa ekspedisi ke Brazil. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia diangkat sebagai professor di New School for Social Reseach. Pada tahun 1959 ia menjadi direktur The Ecole Practique des Hautes Etude, yang bersamaan pula dengan kedudukannya sebagai pimpinan Sicial Antropology pada College de France.

Faktor yang memainkan peranan penting dalam membentuk alur pergulatan intlektualitas Levi-Strauss adalah penafsiran ulang terhadap karya dan pemikiran Mauss yang merupakan hasil didikan Durkheim. Levi-Strauss bukanlah seorang emperisis. Namun demikian, ia selalu berpandangan bahwa ia adalah seorang ahli antropologi struktural. Sebagai yang diilhami oleh Saussure, secara umum antropologi struktural menitikberatkan perhatian pada bagaimana unsur-unsur dari suatu sistem bergabung bersama-sama, bukannya pada nilai intrinsik mereka.

Tokoh sentral strukturalisme Prancis ini bahkan oleh Kurzweil (1980:13) digelari sebagai bapak strukturalisme. Levis-Strauss menerapkan strukturalisme ke bidang yang lebih luas, ke seluruh bentuk komunikasi.


Teori dan Karya Levi-Strauss

Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson.

Bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impresi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak. Sedangkan bagi Levi-Strauss, telaah antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya, Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa.

Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik.

Menurut Strauss, untuk mengetahui makna struktur dalam bidang antropologi, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan berkaitan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut . Struktur menjadi penting untuk diketahui karena memberikan banyak informasi terhadap makna. Bangunan dari model-model itu yang akan membentuk struktur sosial.

Menurut Levi-Strauss ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;

1.Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.

2.Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.

3.Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.

4.Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.

Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan beberapa tokoh yang cukup berpegaruh terhadap lahirnya teori ini. Di antara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural.

Strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;

1.Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa.

2.Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial terhadap suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.

3.Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah regulasi yang tampak melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.

4.Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.



D. PERKEMBANGAN TEORI-TEORI STRUKTURALISME

Strukturalisme muncul dalam dunia akademis pada paruh kedua abad ke-20, dan tumbuh menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademis berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat. Karya Ferdinand de Saussure tentang linguistik umumnya dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah "strukturalisme" itu sendiri muncul dalam karya-karya Perancis antropolog Claude Lévi-Strauss, dan memperkenalkannya di Perancis dengan "gerakan strukturalis".

Menurut Lash sebagai pangkal tolak kemunculan strukturalisme, post strukturalisme dan post modernisme adalah meluas melalui pemikiran Prancis pada tahun 1960-an. Strukturalisme itu sendiri adalah sebuah reaksi terhadap humanisme Prancis, terutama terhadap eksistensialisme Jean-Paul Sartre.

Strukturalisme dari Strauss kemudian mempengaruhi tokoh pemikir lainnya seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Marxisme struktural dari Nicos Poulantzas. Sebagian besar anggota gerakan ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari gerakan tersebut. Strukturalisme terkait erat dengan semiotika. Dalam perkembangan berikutnya, post-strukturalisme berusaha untuk membedakan diri dari penggunaan sederhana metode struktural. Dekonstruksi adalah sebuah upaya untuk memutuskan hubungan dengan cara berpikir strukturalistik. Beberapa intelektual seperti Julia Kristeva, misalnya, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kemudian menjadi menonjol pasca-strukturalis. Strukturalisme bahkan telah memiliki pengaruh di berbagai tingkatan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk pengaruh besar terhadap di bidang sosiologi.

Strukturalisme adalah sebuah pendekatan terhadap ilmu-ilmu manusia yang berupaya untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem yang kompleks dari bagian-bagian yang saling terkait. Itu dimulai dalam linguistik dengan karya Ferdinand de Saussure (1857-1913), tetapi banyak cendekiawan Prancis dianggap memiliki aplikasi yang lebih luas, dan model segera diubah dan diterapkan pada bidang-bidang lain, seperti antropologi, psikologi, psikoanalisis, sastra teori dan arsitektur. Hal ini mengantarkan strukturalisme tidak hanya metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang selama ini menjadikan eksistensialisme sebagai tumpuan di tahun 1960-an Perancis.

Menurut Alison Assiter, terdapat empat ide umum mengenai strukturalisme yang membentuk 'kecenderungan intelektual'. Pertama, struktur apa yang menentukan posisi setiap unsur dari keseluruhan. Kedua, strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, strukturalis tertarik dalam 'struktural' hukum yang berhubungan dengan hidup berdampingan daripada perubahan. Dan akhirnya struktur adalah 'hal-hal nyata' yang terletak di bawah permukaan atau penampilan makna.

Untuk selanjutnya, teori strukturalisme dengan segala dinamika dan perdebatan yang menyertainya, terus mengalami perkembangan. Jhon Lechte dalam 50 filsuf kontemporer bahkan mengelompokan periodesasi perkembangan teori strukturalisme menjadi, strukturalisme awal, strukturalisme dan post-strukturalisme. Masing-masing tahap perkembangan diwakili oleh tokoh teoritisi seperti pada era strukturalisme awal; Bachelard, Bakhtin, Canguilhem, Cavailles, Freud, Mauss dan Merleau-Ponty. Era strukturalisme di antaranya adalah Althusser, Benveniste, Bourdieu, Chomsky, Dumezil, Genette, Jakobson, Lacan, Levi-Strauss, Metz dan Serres. Sedangkan era pemikiran post-strukturalisme, dimunculkan tokohnya masing-masing Bataille, Deleuze, Deridda, Foucault dan Levinas.

Di antara teoritisi strukturalisme tersebut, Levi-Strauss lebih dikenal dalam karya-karyanya sebagai tokoh aliran strukturalisme. Meskipun harus tetap diakui bahwa dalam perkembangannya, setiap karya Levi-Strauss tidak dapat sepenuhnya membebaskan diri dari pengaruh pemikiran tokoh strukturalis lainnya. Meski terinspirasi kajian strukturalisme dan linguistik dari Saussure tetapi Levi-Strauss memperluas wilayah kajian ke bidang-bidang lain, termasuk di antaranya di bidang antropologi.

Di Prancis, strukturalisme semula berkembang agak tersendat. Namun berkat perjuangan kaum strukturalis dalam menentang gagasan kaum faktualitas yang diwariskan kaum positivisme dan individualitas yang ditekankan eksistensialisme, ternyata strukturalisme mendapatkan tempat dan momentum yang tepat. Bahkan, strukturalisme linguistik pasca-Saussure dan strukturalisme antropologi lambat-laun makin semarak. Belakangan muncul pula Raymond picard sebagai wakil kritik lama dan Roland Barthes sebagai wakil kritik baru.

Ada tiga kecenderungan perkembangan strukturalisme di Prancis; Pertama, kritik strukturalisme dengan tokoh sentral, antara lain, Merleau-Ponty dan Barthes. Kedua, naratologi strukturalis yang bersandar pada gagasan Vladimir Propp dan versus Greimas. Ketiga, deskripsi teks strukturalis-linguistik khasnya lewat gagasan Claude Levis-Strauss dan Michael Riffaterre.

Setelah kemunculannya, teori strukturalisme juga banyak memperoleh kritik dan terjebak dalam ruang perdebatan yang berkepanjangan dari berbagai aspek dan pendekatan. Reaksi terhadap strukturalisme semakin terasa sejak munculnya gagasan post-strukturalis yang diperkenalkan Deridda. Meski di Amerika Deridda dikenal sebagai tokoh post-strukturalis tetapi di Prancis tetap saja ia diposisikan sebagai strukturalis. Kenyataan bahwa tidak ada teori sosial yang bertahan secara kaku dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik di tingkat politik, sosial maupun intelektual. Strukturalisme seiring dengan kemunculan pemikir-pemikir baru yang menjadikannya sebagai wilayah dan basis kajian tidak dapat bebas dari seleksi alami perdebatan teoritik dan metodologi sebagaimana teori sosial lainnya.

Strukturalisme mulai kurang populer dari post-strukturalis dan dekonstruksi terutama karena strukturalis dipandang ahistoris dan terlalu deterministik terhadap kekuatan struktural kemampuan individu untuk bertindak. Saat pergolakan politik tahun 1960-an dan 1970-an (dan khususnya pemberontakan mahasiswa Mei 1968) mulai mempengaruhi akademisi, isu-isu kekuasaan dan perjuangan politik mengalihkan pusat perhatian orang. Tahun 1980-an, dekonstruksi dan penekanannya pada ambiguitas fundamental bahasa - lebih daripada kristalin struktur logis - menjadi justru menjadi lebih populer.

Kritik terhadap teori strukturasi yang berkembang sekaligus menunjukkan bahwa alur perjalanan kemajuan teori-teori sosial justru muncul dari gagasan dan pemikiran teoritik sebelumnya. Gidden misalnya, mengatakan dalam kritiknya terhadap strukturalisme bahwa, bahasa sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrase ketika diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, juga jika hanya secara analogis, implikasinya cukup jauh. Apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan “kode tersembunyi” yang ada dibalik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom di balik parole. “Kode tersembunyi” itulah struktur. Tindakan individual dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Kalau mau mengerti masyarakat kapitalis, misalnya, bidiklah logika-internal kinerja ‘modal’. Ada paralel antara perspektif strukturalis dan fungsionalis, yaitu pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku, waktu, ruang, dan proses adalah soal kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap subjek”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, kepel Press, Yogyakarta.

Assiter, A 1984, 'Althusser dan strukturalisme', jurnal British sosiologi, vol. 35, no. 2, Blackwell Publishing,

B. Herry Priyono, Sebuah Terobosan Teoritis, dalam Majalah Basis, no. 01-02, Januari-Pebruari 2000

Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993)

Fokema DW dan Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terjemahan J. Praptadiharja dan Kiplar Silaban, Jakarta; Gramedia, 1988.

Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the Twentieth Century), Gramedia, Jakarta

Giddens Anthony, Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial, Dariyatno (Pentj.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009

Harimurti Kridalaksana, Mongin Ferdinand De Saussure Peletak Dasar Struturalisme dan Linguistik Modern, Jakarta, Yayasan Obor, 2005

Ignas Kladen, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3S, 1987, hal, xii.

Lash, Scott, Introduction, in Post-Structuralist and Post-Modernist Sosciology, Aldershot, Eng, Edwar Elgar,

Lechte Jhon, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Admiranto (pentj), Yogyakarta, Kanisius, 2005

Levi-Strauss, Structural Analysis in linguistics and antropology, dalam Structural Antropology Jacobson Claire (pentj), Harmondsworth, Penguin Books, 1972,

http://postinus.wordpress.com, tanggal 4 Januari 2010 pkl. 22.07 WIB

M. Takdir ilahi, www.kabarindonesia.com, 4 Januari 2010 Pkl. 21.43

Ritzer George, Teori Sosiologi Modern, Alimandan (pentj.) Prenada Media, Jakarta, 2005

Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.

http://wajirannet.blogspot.com/2008/01/strukturalisme-levi-strauss, tanggal 4 Januari 2010, Pkl. 1.01

http://en.wikipedia.org/wiki/Structuralism, tanggal 5 Januari 2010, pkl. 7.04. WIB

http://mahayana-mahadewa, tanggal 5 Januari 2010 pkl, 6.19 WIB.

Minggu, 10 Januari 2010

ANATOMI TEORI SOSIAL "FUNGSIONAL SOSIAL KONFLIK" LEWIS ALFRED COSER




A. PENGANTAR

Secara umum dapat dideskripsikan bahwa munculnya teori-teori konflik dilatarbelakangi oleh tiga kondisi utama yakni, kondisi sosial politik, kondisi intelektual dan kondisi biografis. Kondisi sosial meliputi dominasi politik, eksploitasi sosial dan perkembangan ekonomi. Kondisi intelektual di antaranya idealisme, naturalisme, paham evolusi sosial dan fragmatis. Sedangkan kondisi biografis mayoritas berasal dari kelas bawah, mengalami pendidikan pada masa pencerahan kemudian karir politik dan akademik. Dari kondisi-kondisi ini lalu muncul beberapa tipologi teori konflik dalam perkembangan selanjutnya. Di antara teori konflik tersebut dapat dipetakan menjadi teori konflik materialistik, evolusioner serta model sistemik dan naturalistik.

Teori konflik berbeda dengan teori konsensus tidak hanya karena teori konflik tertarik pada kemudahan terdistribusi secara tidak setara dalam masyarakat menstrukturkan prilaku, tetapi juga karena teori-teori ini tertarik pada konflik, bukan konsensus inheren dalam masyarakat tersebut .

Teori tentang fungsi sosial konflik adalah salah satu teori konflik yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1956 melalui karya Lewis Coser yang diangkat dari desertasi doktoralnya. Teori konflik dari Coser ini diposisikan sebagai teori konflik modern yang bersifat naturalis. Coser lebih memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi konflik yang membawa penyesuaian sosial yang lebih baik daripada menyoroti disfungsional konflik sebagaimana teoritisi struktural fungsional sebelumnya. Ia juga mendasarkan karyanya pada gagasan terdahulu yang dikembangkan oleh Simmel yakni, berdasarkan analogi organik .

Dalam karyanya, Coser bertujuan mengklarifikasi dan mengkonsolidasi skema konsep yang berhubungan dengan data konflik sosial, lebih fokus pada fungsi daripada gangguan fungsi konflik sosial dengan konsekuensi bahwa konflik sosial itu sebagai faktor meningkatnya adaptasi sosial. Coser yang memiliki nama lengkap Alfred Lewis Coser. Dilahirkan dalam sebuah keluarga borjuis Yahudi pada 27 November 1913, di Berlin Jerman. Lahir dari pasangan Martin (seorang bankir) dan Margarett (Fellow) Coser .

Coser memiliki pandangan bahwa konflik dalam masyarakat merupakan peristiwa normal yang dapat memperkuat struktur hubungan-hubungan sosial. Tidak adanya konflik dalam suatu masyarakat tidak dapat dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas hubungan sosial masyarakatnya. Perkembangan konflik dalam masyarakat bukanlah merupakan indikator utama dan tunggal untuk mengatakan bahwa stabilitas sosial dari masyarakat itu telah tercapai. Konflik dalam pandangan Coser adalah perjuangan atas nilai-nilai dan menuntut status yang langkah, kekuasaan, dan sumber yang menetralisasikan tujuan-tujuan lawan untuk melukai atau mengeliminasi lawan-lawan mereka.

Ketika fungsionalisme merupakan orientasi teoritis yang dominan dalam sosiologi Amerika, Coser memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau konsensus normatif, keteraturan dan keselarasan. Dia mengemukakan bahwa proses konflik dipandang dan diperlakukan sebagai sesuatu yang mengacaukan atau disfungsional terhadap keseimbangan sistem secara keseluruhan .

Buku Coser's eklektik mencerminkan pendekatan sosiologi. Dia melekat erat, tapi tidak sepenuhnya untuk beberapa pendekatan sosiologis. Coser tertarik pada analisis fungsional dan sangat dipengaruhi oleh Parsons 'Struktur Aksi Sosial, tetapi ia juga tidak dapat melepaskan pengaruh gagasan terdahulu yang dikembangkan Simmel. Dengan demikian Fungsi Konflik Sosial adalah upaya untuk menerapkan dua mazhab pemikiran yang berbeda untuk studi sosiologis. Apakah konflik sosial bermanfaat untuk adaptasi internal atau tidak tergantung pada jenis masalahnya dan juga pada jenis struktur sosial di mana masalah itu terjadi.

Untuk memahami lebih jauh pikiran-pikiran Coser terhadap fungsional konflik, terlebih dahulu akan dideskripsikan fungsi konflik sosial dengan 14 tahapan pendekatan anatomi teori. Dari deskripsi tersebut selanjutnya akan diuraikan analisis sebagai telaah kritis secara teoritik terhadap pengembangan pemikiran Coser yang dituangkan dalam teori fungsi konflik sosial.



B. ANATOMI TEORI FUNGSI KONFLIK SOSIAL LEWIS COSER

1. Latar Belakang Munculnya Teori Fungsi Sosial Konflik

Tahun 1956, tiga tahun sebelum diterbitkannya buku Dahrendorf edisi bahasa Inggris yakni, Class Conflict in Industrial Society, sosiolog Amerika Lewis Coser menerbitkan buku berjudul The functions of Sosial Conflict. Latar belakang munculnya pemikiran Coser tentang fungsi konflik sosial dapat dijelaskan dengan melihat kondisi inlektual, sosial dan politik pada saat itu. Kondisi intelektual adalah respon Coser atas dominasi pemikiran fungsionalisme yang merupakan orientasi teoritis dominan dalam sosiologi Amerika pada pertengahan tahun 1950 .

Coser memulai pendekatannya dengan suatu kecaman terhadap tekanan pada nilai atau konsensus normatif, ketaruran dan keselarasan. Dia mengemukakan bahwa proses konflik dipandang dan diperlakukan sebagai sesuatu yang mengacaukan atau disfungsional terhadap keseimbangan sistem secara keseluruhan. Padahal dalam pandangan Coser konflik tidak serta-merta merusakkan, berkonotasi disfungsional, disintegrasi ataupun patologis untuk sistem dimana konflik itu terjadi melainkan bahwa konflik itu dapat mempunyai konsekuensi-konsekuensi positif untuk menguntungkan sistem itu.

Adapun kondisi sosial politik pada saat Coser memunculkan teori fungsi konflik sosial ini adalah masih kuatnya pengaruh Anti-Semitisme atau prasangka rasialisme, perang antar bangsa yang sering merangsang nasionalisme dan semangat patriotisme yang tinggi, pengurangan kebebasan dari orang Amerika-Jepang di Amerika Serikat dan berbagai konflik-konflik lainnya yang ikut manjadi kajian analisis Coser khususnya konflik antar kelompok dan solidaritas kelompok dalam. Coser tidak ragu-ragu untuk menulis kritis tentang politik dan keadaan moral masyarakat. Sebagai reaksi terhadap intoleransi dari McCarthy pada 1950-an, ia dan teman Irving Howe menciptakan anti kemapanan radikal lewat jurnal Dissent, yang diterbitkan secara berkala dalam publikasi jurnal .


2. Fenomena Sosial yang Melahirkan Teori Fungsi Sosial Konflik

Pertengahan tahun 1950, saat Coser menulis teori fungsional konflik sosial, Coser sebenarnya telah melewati dan memasuki beberapa rana konflik seperti saat kajian Coser disela oleh Perang Dunia II ketika ia ditahan polisi Perancis dan dikirim ke kamp konsentrasi. Setelah dibebaskan, ia berhasil mendapatkan salah satu dari visa masuk Amerika terakhir yang dikeluarkan ke pengungsi Jerman sebelum perang dimulai, dan pada tahun 1941, ia naik kapal menuju New York City tempat dimana dia melanjutkan kajian dan menerbitkan teori fungsi sosial konflik.

Pada kenyataannya, pada tahun 1941 sampai dengan 1951 Coser lebih banyak waktunya dihabiskan di Columbia University baik sebagai mahasiswa pascasarjana maupun sebagai pengajar sampai akhirnya menjadi Professor Sosiologi. Beberapa fenomena menarik dalam kehidupan Coser pada masa-masa awal penulisan teori fungsional konflik sosial adalah keterlibatan Coser secara aktif menulis kritik-kritik sosial sebagai reaksi intoleransi dari McCarthy pada 1950-an, ia dan teman Irving Howe menciptakan anti kemapanan radikal lewat jurnal Dissent. Dia menulis dalam otobiografinya kontribusi Sociological Lives (1988)


3. Pemikiran politik dan atau teori sosial yang mempengaruhi Fungsi Sosial Konflik

Umumnya analisa Coser mengenai fungsi konflik sosial dapat dipandang sebagai suatu alternatif terhadap persepektif-persepektif teori konflik radikal yang diinspirasi pandangan Marxis. Selama lebih dua puluh tahun Lewis A Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tekanan pada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan pendekatan fungsional struktural versus teori konflik. Dengan demikian dapat ditelusuri bahwa pemikir struktural fungsional konflik memiliki andil atau kontribusi dalam karya Coser.

Pada bab awal bukunya tentang fungsi sosial konflik, Coser menyatakan pemahamannya tentang konflik dengan mengutif Albion Small dan George E. Vincen ketika menulis, “Sosiologi dilahirkan dalam semangat modern untuk memperbaiki masyarakat” . Coser memilih menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur. Coser membangun pernyataan-pernyataannya tentang konflik sosial terutama melalui kepercayaanya pada ahli sosiologi George Simmel. Dalam rangka menyusun teori konflik sosial, Coser mengeksplorasi ide-ide yang dinyatakan oleh George Simmel dalam karya klasik, Konflik. Esai ini menganalisis konflik dalam hal proses interaktif dan menggambarkan konflik sebagai "suatu bentuk sosialisasi.

Walaupun kadang-kadang Coser ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari paradigma kaum fungsional struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya terlihat bahwa dia tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis utama terhadap teori konflik. Coser tetap menganggap bahwa teori konflik adalah teori parsial daripada sebagai pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Lewis Coser mencoba membimbing perhatian kaum fungsionalis kepada proses konflik sosial dan menyatukannya ke dalam analisa kaum fungsionalis.

Coser mendasarkan analisanya dalam The Functions of Social Conflict pada ide-ide Simmel bahwa konflik merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang dasar, dan bahwa proses konflik dihubungkan dengan bentuk-bentuk alternatif seperti kerjasama. Coser bukan tidak setuju dengan tekanan Parson pada tingkat analisa sistem sosial, juga tidak sepenuhnya mengikuti Simmel bahwa analisa sosial harus dipusatkan terutama pada bentuk-bentuk interaksi. Coser pada prinsipnya memiliki pandangan utama bahwa konflik tidak harus merusakkan atau bersifat disfungsional .

4. Latar Belakang Pribadi Lewis A Coser
Lewis A Coser dilahirkan dalam sebuah keluarga borjuis Yahudi pada 27 November 1913, di Berlin, Jerman. Lewis Coser memberontak melawan atas kehidupan kelas menengah yang diberikan kepadanya oleh orang tuanya, Martin (seorang bankir) dan Margarete (Fehlow) Coser. Pada masa remajanya ia sudah bergabung dengan gerakan sosialis dan meskipun bukan murid yang luar biasa dan tidak rajin sekolah tetapi ia tetap membaca voluminously sendiri.

Ketika Hitler berkuasa di Jerman, Coser melarikan diri ke Paris, tempat ia bekerja serabutan untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Ia menjadi aktif dalam gerakan sosialis, bergabung dengan beberapa kelompok-kelompok radikal, termasuk organisasi Trotskyis yang disebut "The Spark." Pada tahun 1936, ia akhirnya mampu mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, menjadi seorang ahli statistik untuk perusahaan broker Amerika. Dia juga terdaftar di Sorbonne sebagai mahasiswa sastra komparatif tetapi kemudian mengubah fokus untuk sosiologi.

Pada tahun 1942 ia menikah Rose Laub; mereka punya dua anak, Ellen dan Steven. Pada tahun 1948, setelah periode singkat sebagai mahasiswa pascasarjana di Columbia University, Coser menerima posisi sebagai tenaga pengajar ilmu sosial di Universitas Chicago. Pada tahun yang sama, ia menjadi warga negara AS naturalisasi. Pada tahun 1950, ia kembali ke Universitas Columbia sekali lagi untuk melanjutkan studinya, menerima gelar doktor pada tahun 1954. Ia diminta oleh Brandeis University di Waltham, Massachusetts pada tahun 1951. Pertama sebagai seorang dosen dan kemudian sebagai profesor sosiologi. Dia tetap di Brandeis, yang dianggap sebagai surga bagi kaum liberal, sampai 1968. Buku Coser tentang Fungsi Konflik Sosial adalah hasil dari disertasi doktoralnya. Karya-karya lainnya antara lain adalah; Partai Komunis Amerika: A Critical History (1957), Men of Ideas (1965), Continues in the Study of Sosial Conflict (1967), Master of Sosiological Thought (1971) dan beberapa buku lainnya disamping sebagai editor maupun distributor publikasi. Coser meninggal pada tanggal 8 Juli 2003, di Cambridge, Massachusetts dalam usia 89 tahun.

5. Pertanyaan Teoritik yang Diajukan dalam Fungsi Konflik Sosial
Kemunculan teori fungsional konflik sosial memang tidak dapat dilepaskan dengan pertanyaan-pertanyaan teoritik yang melatarbelakangi munculnya teori fungsi konflik sosial. Awalnya, dalam perkembangan teori-teori sosial di Amerika era pertengahan abad sembilan belas masih terus didominasi oleh pemikiran struktural fungsional. Coser pun sebenarnya tetap tidak dapat melepaskan sepenuhnya kerangka berpikir struktur fungsional dalam membangun gagasan-gagasannya tentang fungsi konflik sosial. Setidaknya pertanyaan teoritik yang diajukan Coser dalam melahirkan teori fungsional konflik sosial melalui kritik Coser terhadap teoritisi pandahulunya memperlihatkan bahwa analisa Coser tetap berada pada struktur dan interaksi sosial sekalipun perhatian utamanya tetap pada konflik.

Coser menyatakan bahwa konflik sosial seringkali diabaikan oleh para ahli sosiologi, karena mereka cenderung menekankan pada sisi yang negatif atau terpecah belah. Coser ingin memperbaiki dengan cara menekankan pada sisi konflik yang positif yakni dengan mengajukan pertanyaan teoritik, “bagaimana konflik itu dapat memberi sumbangan pada ketahanan dan adaptasi dari kelompok, interaksi dan sistem sosial” . Coser juga mengambil pembahasan dari Simmel, mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi-kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat .

Pertanyaan inilah kemudian dikembangkan untuk melihat beberapa aspek konflik dalam struktur sosial seperti konflik antar kelompok dan solidaritas kelompok-dalam, konflik dan solidaritas dalam kelompok, konsekuensi dipendamnya konflik, ikatan konflik dan pemeliharaan fungsi-fungsi konflik sosial, katup penyelamat, konflik realistis dan non realistis serta permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim.


6. Penjelasan dari Teori Fungsi Sosial Konflik
alam karyanya, Coser bertujuan mengklarifikasi dan mengkondolidasi skema konsep yang berhubungan dengan data konflik sosial, lebih memfokuskan kepada fungsi daripada disfungsi sosial. Teori fungsi sosial konflik menjelaskan beberapa hal di antaranya adalah:

a. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.

b. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.

c. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

d. Katup penyelamat (savety-valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.

e. Bila segala sesuatu dianggap sama, konflik antara dua orang yang saling kenal akan kurang tajam bila dibandingkan dengan konflik antara suami dan istri .



7. Kata-kata Kunci

Kata kunci dalam teori fungsi konflik sosial Coser adalah;

a. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial.

Key words: Struktur sosial, konflik

b. Fungsi sosial konflik adalah dapat berfungsi menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.

Key words: Fungsi sosial konflik

c. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindungi agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Key words: Fungsi sosial konflik

a. Katup penyelamat (savety-valve) ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial.
Key words: Katup penyelamat, konflik sosial

8. Jenis Realitas dalam Teori Fungsi Konflik Sosial
Bagi Coser dalam menjelaskan teori fungsi konflik sosial ditegaskan bahwa realitas bukan merupakan realitas subyektif seperti rumusan Charles Horton Cooley atau george Herbert Mead, tetapi realitas obyektif seperti yang dimaksudkan oleh Durkheim dan kaum fungsional lainnya. Jelas bagi Coser maupun kaum fungsionalisme struktural bahwa struktur sosial ada di dalam dirinya sendiri dan bergerak sebagai kendala. Dengan demikian, jenis realitas dalam teori konflik sosial adalah realitas obyektif.

9. Lingkup Realitas Sosial dalam Teori Fungsional Konflik Sosial
Sebagaimana dalam tradisi Durkheim yang menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi harus menggunakan fakta-fakta sosial lainnya. Coser mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis yang menggunakan indikator obyektif untuk menjelaskan realitas sosial. Sumbangan Coser terhadap teori tetap terikat pada tradisi fungsional yang lebih fokus pada realitas obyektif di tingkat makro. Hal ini dapat dilihat dari asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan masyarakat yang implisit tercakup dalam teorinya.

Realitas lain yang dapat digambarkan mengenai teori fungsional konflik sosial dari Coser adalah kajian tentang model manusia yang oleh Coser dipandang berada di luar bidang psikologi sosial dan sebenarnya justru lebih dekat dengan kubu sosiologi tradisonal. Manusia bukan merupakan sukma bebas yang dapat melakukan segala yang diinginkannya, melainkan dihambat oleh lembaga-lembanga sosial di mana mereka berada.

10. Lokus Aktor yang Otonom dalam Fungsional Konflik Sosial
Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa Coser ketika memahami manusia, bukanlah merupakan sukma bebas yang melakukan segala yang diinginkan. Hal ini menindikasikan dengan kuat bahwa lokus aktor yang otonom tidak melekat pada individu-individu melainkan dihambat oleh lembaga-lembaga sosial dimana mereka berada.

11. Lokus Penjelasan yang Otonom dalam Fungsional Konflik Sosial
Coser menjelaskan teori fungsional konflik sosial dengan memberikan argumentasi bahwa ketika kebebasan manusia terkendala oleh lembaga-lembaga sosial di mana mereka berada, sebenarnya ia juga tengah menunjukkan lokus penjelasan otonom teori ini. Dengan demikian, menurutnya, orang akan dihambat oleh kekuatan struktur sosial yang membatasi kebebasan dan kreativitasnya. Coser mengatakan dalam pengantar karyanya; “Sebagaimana pertumbuhan species binatang yang hanya tumbuh dalam lingkungan yang menunjang pertumbuhan itu, maka manusia berkembang hanya jika mereka berhadapan dengan kerangka institusional yang menopangnya.”

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lokus realitas teori fungsional konflik sosial yang dikemukakan oleh Coser adalah berada pada lokus struktur sosial atau masyarakat dan bukan pada lokus mind yang lebih khusus memperhatikan interaksi manusia sampai kepada tingkat mikro. Meski demikian, tentu juga dapat dikatakan bahwa tidak ada satu teori yang sepenuhnya meninggalkan mind untuk menjelaskan hal-hal utama dalam kajiannya sekalipun bukan pada focus utama.

12. Asumsi tentang Individu dan Masyarakat yang Mendasari Teori Fungsional Konflik Sosial
Dalam bukunya Master of Sosiological Thought, Coser menggunakan kerangka sosiologi pengetahuan yang mengaitkan pemikiran dengan lingkungan kultural yang lebih luas dan lebih personal. Coser menunjukkan bagaimana karya teoritisi berkaitan dengan konteks histori serta sejarah kehidupan pribadi mereka . Yang ingin dijelaskan adalah bahwa teori fungsi konflik sosial mengasumsikan individu berada pada posisi yang tidak sepenuhnya otonom dalam hal tindakan sosial. Termasuk konflik sosial, pada tingkatannya paling umum tentu mempertimbangkan masyarakat sebagai suatu bentuk yang mejemuk dan memiliki kepentingan yang saling bertentangan.

Masyarakat dalam perspektif teori ini sebagaimana struktur sosial dan institusi sosial lainnya, mampu menentukan arah tindakan yang menguntungkan sistem secara keseluruhan atau tidak, sedangkan individu justru kebalikannya. Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan struktur.

13. Metodologi yang Digunakan
Metodologi yang digunakan Coser dalam teori fungsional konflik sosial adalah menggunakan masyarakat, kelompok atau struktur sosial sebagai sumber informasi. Individu hanya ditempatkan sebatas responden tetapi bukan subyek. Manusia dilihat sebagai produk masyarakat atau internalisasi dari masyarakat. Metode Coser terdiri atas ide dasar dari teori konflik sosial yang berhubungan dengan penemuan lain dari sebuah teori atau sifat dasar empiris.

14. Bias Nilai, Kepentingan Ekonomi dan Politik yang Terkandung dalam Teori Fungsi Konflik Sosial
Meskipun Coser berusaha untuk tetap netral-nilai dalam studi sosiologis dan tulisan-tulisannya, Coser tidak ragu-ragu untuk menulis kritis tentang politik dan keadaan moral masyarakat. Sebagai reaksi terhadap intoleransi dari McCarthy pada 1950-an, ia dan temannya Irving Howe menciptakan anti kemapanan radikal yang dipublikasikan dalam jurnal Dissent, yang tetap dalam publikasi.

Susasana politik dan pergerakan sosial di era pertengahan tahun 1950-an, sedikit banyak berpengaruh dalam pengembangan teori fungsi konflik sosial yang dikemukakan Coser. Sebagaimana Coser yakini dalam karyanya Master of Sosiological Thought , Ia pun tidak bisa melepaskan diri sepenuhnya dari pengaruh historis, politik dan kultur saat itu. Pertentangan dan konflik terjadi di berbagai belahan dunia dan cenderung memunculkan kembali identitas kultural, etnitisitas bahkan agama membawa dampak terhadap pribadi Coser.

Teori fungsi sosial konflik yang dikemukakan Coser ternyata lepas dari penetrasi pandangan Simmel sekalipun orang dapat melihat bahwa rumusan Simmel banyak memberi sumbangan terhadap ide-ide Coser.








DAFTAR PUSTAKA



Coser A Lewis, The Fungtions of Sosial Conflict, New York, USA, The Free Press, 1956

__________. Men of Idea: A Sociologist’s View, New York, The Free Press, 1970.

Jhonson, Doyle Paul, Sociological Theory: Classical Founders and Contemporary Perspective, Robert MZ Lawang (pentj.), jilid I, Jakarta, PT. Gramedia, 1986.

Jones Pip, Pengantar Teori-teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme, Ahmad F (pentj.), Yayasan Obor Indonesia, 2009.

Kinloch C Graham, Sociological Theory: Its Development and Mayor Paradigms, Dadang Kahmad (ed.),edisi I, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2005.

Poloma Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Yasogama tim (terj.) Jakarta, PT. RajaGarfindo Persada, 2000.

Zeitlin M Irving, Memahami Kembali Sosiologi, Sunyoto (peny.), Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1998.

http://www.bookrags.com/biography/lewis-alfred-coser-soc

http://www.crinfo.org/booksummary