Minggu, 28 Februari 2010

Beberapa Pokok Pikiran dalam Teori Sosiologi Modern



MANUSIA adalah masyarakat dalam bentuk miniatur. Ketika dia berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dia bisa menjadi subyek dan sekaligus obyek. Dalam komunikasi itu pula, manusia berpikir, menunjuk segala sesuatu, menginterpretasikan situasi, dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri dengan cara-cara berbeda.

Berpikir berarti berbicara kepada diri sendiri, sama seperti cara kita berbicara dengan orang lain. Percakapan dengan diri sendiri sebagian besar dilakukan dengan diam. Tanpa diri sendiri, manusia tidak akan mampu berkomunikasi dengan orang lain, sebab hanya dengan itu, maka komunikasi efektif dengan orang lain bisa terjadi.

Dari situ akan terdapat banyak ‘arti’. Individu yang menyampaikan ‘arti’ pada dirinya sendiri, pada saat itu juga ia memberikan ‘arti’ pada orang lain. Perasaan terhadap diri seseorang dibentuk dan didukung oleh respon orang lain. Jika seseorang konsisten menunjukkan dirinya dalam pelbagai perbedaan, maka dia juga harus menerima perlakuan orang lain sesuai yang dia berikan padanya.

Jika seseorang secara konsisten ditertawakan dan diremehkan, maka tampaknya tak ada sesuatu yang lain yang dia anggap pada dirinya kecuali bahwa dirinya memang rendah. Jika seseorang kerap diabaikan –terutama di dalam situasi di mana dirinya minta untuk diperhatikan–, maka dia akan sangat yakin bahwa dirinya memang benar-benar tak berguna. Dan inilah yang dibincangkan dalam dalam teori interaksionisme simbolis.
Riyadi Soeprapto (2002), “Teori Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern” (241 Hlm)
http://www.averroespress.net/press-corner/katalog-buku/326-teori-interaksionisme-simbolik-perspektif-sosiologi-modern.html

1. Positivisme memilikin beberapa ciri-ciri, yaitu:

a. Membahas segala sesuatu berdasarkan apa yang sebenarnya dan dapat dirasakan oleh panca indra.

b. Membahas melalui pengalaman dan kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah.

c. Fakta yang ada tidak berkaitan dengan nilai.

d. Objek memiliki nilai dan manfaat

2. Kelemahan konvensionalisme adalah diantaranya konvensionalisme dianggap berlawanan dengan real atau kenyataan dan hanya melihat melalui makna, ide dan intepretasi. Maka teori ini dapat dikatakan teori yang bersifat ilusionis karena hanya memikirkan makna yang terkandung saja. Teori ini juga selalu dapat berubah-ubah menyesuaikan perkembangan jaman.

3. Realisme adalah suatu aliran atau paham yang berpendapat bahwa inti dari segala sesuatu berdasarkan dengan kenyataan yang ada.

4. Konvensionalisme sendiri melihat segala sesuatu berdasarkan pada makna, ide dan intepretasi. Sedangkan positivisme melihatnya berdasarkan kenyataan saja. Maka menurut konvensionalisme, positivisme dianggap tidak dapat melihat makna dibalik kenyataan itu sendiri. Positivisme hanya dapat melihat suatu masalah melalui konsep, teori dan hukum.

5. Menurut Anthony Giddens, modernitas ialah suatu tatanan pasca masyarakat tradisional, meski di dalamnya keyakinan yang diperoleh dari pengetahuan rasional belum menggeser kemantapan dan kedamaian jiwa yang diperoleh dari tradisi dan norma-normanya. Sedangkan menurut istilah modernitas yaitu adanya perubahan dengan memperhatikan adanya perubahan jaman, sosial, ekonomi dan budaya.

Ciri-ciri modernitas adalah linier, sirkuler dan alam sebagai objek sedangkan manusia sebagai objek

6. Manusia dapat menemukan modernisasi saat manusia sudah sadar bahwa dirinya sebagai subjek yang berfikir. Namun modernitas cenderung menempatkan manusia hanya sebagai objek dan bukan subjek. Manusia bukan lagi sebagai pelaku perubahan dalam pusaran modernisasi tersebut. Tapi lebih sering terseret dalam jaring-jaring modernisasi yang menumpulkan kesadaran kritisnya.

7. Rasio dapat menciptakan modernitas. Dimana dengan rasio yang kuat dapat dikembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian menjadi sarana untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera untuk memajukan rakyat banyak. Namun rasio yang berlebihan juga dapat berpengaruh buruk. Maka harus diseimbangkan antara rasio dan rasa.

8. Akal budi pencerahan disebut juga sebagai nalar. Akal budi pencerahan adalah usaha dari manusia untuk mencapai pengertian rasional dirinya dan makna emasipatoris (pembebasan manusia berdasarkan kedaulatannya).

9. Kritik Horkheimer dan Adorno mengenai akal budi pencerahan, dimana pencarian akan akal budi pencerahan ini akan membuat pengaruh jangka panjang yang buruk seperti rasionalitas dan penindasan serta menetang hak asasi. Pencerahan tersebut hanya dapat dinikmati oleh dirinya sendiri. Pencerahan merupakan proyek penyingkiran mitos-mitos dalam akal budi telah melahirkan cara berfikir yang disebut rasio kritis.

10. Menurut Horkheimer, teori tradisional merupakan teori ideologis. Dimana teori ini berusaha untuk memecahkan segala fenomena dan masalah yang ada. Teori ini bersifat netral, ahistori dan tidak adanya kesatuan antara teori dan praxis.

Contoh teori tradisional adalah teori suicide (bunuh diri) yang dikemukakan oleh Emile Durkheim. Karena teori ini hanya mengupas luarnya saja, tidak sampai begitu mendalam.

11. Teori kritis adalah sebuah perspektif teoritis yang elektik dan sumber pemikirannya bisa diambil dari pemikir-pemikir sebelumnya dan disatukan dengan teoritis yang sama. Teori kritis lebih kepada mengkritisi dan mencari kelemahan dari suatu teori untuk kemudian diformulasikan menjadi teori yang kuat.

12. Kritik (dalam KBBI) adalah kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb. Kata kritik diturunkan dari bahasa Yunani Kuno yaitu krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”.

13. Akal budi instrumental adalah akal budi atau rasio yang menekankan diri sebagai alat sarana demi membuahkan guna.

14. Menurut Horkheimer dilema usaha rasional manusia itu adalah terbenamnya akal budi objektif dan digantikan akal budi yang melulu instrumentalis. Dimana manusia mencoba sadar dan mencari rasionalitas untuk mencapai suatu tujuan secara terus menerus namun pada akhirnya manusia tersebut hanya kembali kepada irrasionalitas.

15. Strukturalisme adalah sebuah pemikiran filsafat yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi. Strukturalisme merupakan krangka berfikir dari banyak pemikiran-pemikiran modern.

Contoh konkrit dari strukturalisme adalah sistem bahasa di masyarakat.

16. Menurut Foucault, pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Pengetahuan adalah keinginan untuk tahu / mengetahui yang berkaitan dengan proses dominasi atas obyek-obyek yang berkaitan dengan manusia.

17. Foucault mengemukakan bahwa pengetahuan dilahirkan atas kuasa. Namun kuasa sendiri mempunya efek kuasa. Dimana kuasa berkembang sesuai dengan perkembangan kuasa.

18. Fungsi arsip : mengumpulkan pernyataan-pernyataan untuk dapat dibakukan.

Fungsi regulasi : membuat norma-norma dari arsip yang sesuai dengan masyarakat.

Fungsi normalisasi: menyesuaikan antara norma dengan masyarakat melalui umpan balik (feedback) dari masyarakat itu sendiri.

19. Menurut Derrida pemikiran “ada” sebagai kehadiran yang juga disebut olehnya sebagai metafisik. Selain itu kehadiran dihubungkan dengan tanda untuk menggantikan yang tidak hadir dan tanda sebagai bekas. Jika dihubungkan, kehadiran timbul sebagai efek bekas. Kumpulan hubungan tersebutlah yang disebut “teks” oleh Derrida yang selalu berkaitan dengan teks yang lain.

20. Teori kritis digunakan untuk menguji suatu pendapat. Selain itu mengetahui kebenaran dari suatu pendapat, sebagai penyeimbang dari teori-teori yang ada.

http://marthinoes.blogspot.com/2009/07/pertanyaan-teori-sosiologi-kritis.html

IBNU Khaldun mencetus pemikiran baru apabila menyatakan sistem sosial manusia berubah mengikut kemampuannya berfikir, keadaan muka bumi persekitaran mereka, pengaruh iklim, makanan, emosi serta jiwa manusia itu sendiri.

Beliau juga berpendapat institusi masyarakat berkembang mengikut tahapnya dengan tertib bermula dengan tahap primitif, pemilikan, diikuti tahap peradaban dan kemakmuran sebelum tahap kemunduran.
Pandangan Ibnu Khaldun dikagumi tokoh sejarah berketurunan Yahudi, Prof Emeritus Dr Bernerd Lewis yang menyifatkan tokoh ilmuwan itu sebagai ahli sejarah Arab yang hebat pada zaman pertengahan.

Felo Amat Utama Akademik Institut Antarabangsa Pemikiran dan Ketamadunan (Istac), Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Muhammad Uthman El-Muhammady pula melihat pendekatan Ibnu Khaldun secara sejagat.

Sumbangan Ibu Khaldun, perintis ilmu sosiologi moden dapat disaksikan melalui siri Ilmuwan Islam di TV3, malam ini.

Episod kali ini yang diterbitkan Mohd Fasil Mohd Idris, bakal membawa penonton mengenali lebih dekat ilmuwan kelahiran Tunisia yang banyak menghasilkan karya untuk rujukan umat Islam dan bangsa lain masa kini. Dilahirkan di Tunisia, keluarga Ibnu Khaldun sebenarnya berasal dari wilayah Seville, Sepanyol, ketika dalam pemerintahan Islam. Ketika zaman kanak-kanak, beliau mempelajari al-Quran daripada orang tuanya sebelum melanjutkan pengajian ke peringkat tinggi sambil dibantu sejarawan dan ulama Tunisia serta Sepanyol.
Pada 1375, beliau berhijrah ke Granada, Sepanyol kerana mahu melarikan diri daripada kerajaan di Afrika Utara.

Bagaimanapun, keadaan politik Granada tidak stabil, lantas mendorong beliau untuk merantau ke Aljazair (bahagian utara Semenanjung Tanah Arab). Di sini, beliau tinggal di kampung kecil iaitu Qalat Ibnu Salama.
Di situ juga beliau menghasilkan beberapa karya terkenal termasuk al Ibar Wa Diwan al-Mubtad Wa al-Khabar. Kitab ini mengandungi enam jilid dan paling terkenal, kitab Mukaddimah.
Sehingga kini kitab itu menjadi rujukan umat Islam, khususnya dalam ilmu kajian sosial, politik, falsafah dan sejarah.

Kitab Mukaddimah menghuraikan beberapa peristiwa dalam kehidupan masyarakat, proses pembentukan negara, faktor kemajuan serta kemunduran, selain menerangkan beberapa perkara yang berkaitan bidang perniagaan, perindustrian dan pertanian.

Karya Ibnu Khaldun yang menakjubkan itu membolehkan beliau digelar sebagai Prolegomena atau pengenalan kepada pelbagai ilmu perkembangan kehidupan manusia di kalangan ilmuwan Barat.

Dalam pada itu, Ibnu Khaldun mengutarakan pandangannya bagi memperbaiki kesilapan dalam kehidupan menjadikan karya beliau seumpama ensiklopedia yang mengisahkan pelbagai perkara dalam kehidupan sosial manusia.

Kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun bukan hanya mencakupi kisah kehidupan masyarakat ketika itu, malah merangkumi sejarah umat terdahulu.

Selain sebagai ilmuwan dalam bidang sosial, Ibnu Khaldun, mampu mentadbir dengan baik apabila dilantik sebagai kadi ketika menetap di Mesir.
Kebijaksanaannya mendorong Sultan Burquq iaitu Sultan Mesir ketika itu memberi gelaran Waliyuddin kepada Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun juga memajukan konsep ekonomi, perdagangan, kebebasan dan terkenal kerana hasil kerjanya dalam bidang sosiologi, astronomi, numerologi, kimia serta sejarah.

Beliau membangunkan idea bahawa tugas kerajaan hanya terhad kepada mempertahankan rakyatnya daripada keganasan, melindungi harta persendirian, menghalang penipuan dalam perdagangan dan menguruskan penghasilan wang.

Pemerintah juga melaksanakan kepemimpinan politik bijaksana dengan perpaduan sosial dan kuasa tanpa paksaan.

Dari segi ekonomi, Ibn Khaldun memajukan teori nilai dan hubung kaitnya dengan tenaga buruh, memperkenalkan pembahagian tenaga kerja, menyokong pasaran terbuka, menyedari kesan dinamik permintaan dan bekalan ke atas harga dan keuntungan. Beliau turut menyokong perdagangan bebas dengan orang asing, dan percaya kepada kebebasan memilih bagi membenarkan rakyat bekerja keras untuk diri mereka sendiri. Wacana atau pemikiran Ibnu Khaldun turut diterjemah ke dalam kehidupan masyarakat moden yang mahu mengimbangi pembangunan fizikal dan spiritual seperti Malaysia yang sedang menuju status negara maju.
Secara teorinya, ilmu itu dikaitkan dengan soal manusia dalam masyarakat dan ahli sosiologi berharap ilmu berkenan dapat menjalinkan perpaduan serta membentuk penawar kepada krisis moral yang dihadapi masyarakat hari ini.

Istilah sosiologi walaupun dicipta tokoh kelahiran Perancis abad ke-19, Aguste Comte, kajian mengenai kehidupan sosial manusia sudah dihurai oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah, 500 tahun lebih awal, pada usianya 36 tahun
http://perpustakaan-online.blogspot.com/2008/04/tokoh-sosiologi-modern-ibnu-khaldun.html]

I. PENGANTAR Tulisan ini telah menyita perhatian karena telah merubah cara kita berpikir tentang teori-teori sosial dan kita berharap bahwa kita akan berlaku sama untuk yang lain. Tulisan ini menjelaskan dan membantu mengatasi apa yang kiranya menjadi sumber utama kebingungan dalam ilmu-ilmu sosial pada saat sekarang. Pada awalnya tulisan ini hanya bermaksud menghubungkan teori-teori organisasi dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Tetapi, dalam wacana yang lebih luas, tulisan ini sekaligus juga mencakup banyak aspek dari filsafat dan teori sosial secar umum.

Dalil kami adalah bahwa teori sosial dapat secara mudah dipahami dari empat kunci paradigma, yang didasarkan atas perbedaan anggapan metteori tentang sifat dasdar ilmu sosial dan sifat dasar dari masyarakat. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan-pandangan yang berbda mengenai dunia soisal. Masing-masing pendirian menghasilkan (melahirkan) analisanya sendiri-sendiri mengenai kehidupan sosial. Masing-masing paradigma melahirkan teori-teori dan pandangan-pandangan yang didalamnya terdapat pertentangan fundamental yang ditimbulkan dalam paradigma lainnya.

Sejumlah analisa-analisa teori sosial telah membawa kita berhadap-hadapan langsung dengan sifat dari asumsi-asumsi yang mengandung perbedaan pendekatan pada ilmu sosial.

II. ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL

Tesis utama dalam tulisan ini adalah bahwa semua teori tentang masyarakat didasarkan pada (atas) filsafat ilmu dan teori sosial tertentu. Filsafat dan teori ilmu sosial selalu mengandung empat anggapan dasar (asumsi): ontologis, epistemologis, pandangan tentang manusia (human nature), dan metodologi. Semua pakar ilmu sosial mendekati pokok kajian mereka dengan asumsi-asumsi (baik eksplisit maupun implisit) mengenai dunia sosial dan cara dimana dunia sosial diteliti.

Asumsi Ontologis / Hakekat sesuatu

Asumsi ini memperhatikan inti dari fenomena yang diamati. Para pakar ilmu sosial misalnya dihadapkan pada pertanyaan dasar ontologis: apakah realitas diteliti sebagai suatu yang berada di luar diri manusia yang merasuk ke dalam alam kesadaran seseorang; ataukah merupakan hasil dari kesadaran seseorang? Apakah realitas itu merupakan keadaan yang obyektif atau hasil dari pengetahuan seseorang (subyektif)? Apakah realitas itu memang sesuatu yang sudah ada (given) di luar pikiran seseorang atau hasil dari pikiran seseorang.

Asumsi Epistemologis / Memperoleh kebenaran

Ini berkaitan dengan anggapan-anggapan dasar mengenai landasan ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana seseorang mulai memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Anggapan dasar ini berkaitan juga dengan bentuk-bentuk pengetahuan apa saja yang bisa didapat dan bagaimana seseorang memilah-milah mana yang dikatakan “benar” dan “salah”. Dikotomi benar dan salah itu sendiri menunjukkan pendirian atau sikap epistemologi tertentu. Didasarkan atas pandangan tentang sifat ilmu pengetahuan itu sendiri: apakah misalnya mungkin mengenal dan mengkomunikasikan sifat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang wujud nyata dan dapat disebarkan atau diteruskan dalam bentuk nyata; atu apakah ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang lebih halus (tidak berujud), lebih mempribadi, bersifat rohaniah dan bahkan mengatasi kenyataan (transendental) yang lebih didasarkan pengalaman dan pengetahuan pribadi yang unuk dan hakiki? Di sini epistemologi menentukan posisi yang ekstrim: apakah pengetahuan itu sesuatu yang dapat diperoleh (dipelajari) dari orang lain atau sesuatu yang dimiliki atas dasar pengalaman pribadi.

Asumsi Hakekat Manusia

Ini terutama mengenai hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Semua ilmu sosial secara jelas harus didasarkan pada asumsi ini, karena kehidupan manusia hakekatnya adalah subyek sekaligus obyek dari pencarian dan penemuan pengetahuan. Kita dapat mengindentifikasi pandanngan ilmu sosial, yang mengandung pandangan manusia dalam menanggapi keadaan-keadaan di luar dirinya secara mekanistik atau deterministik. Pandangan ini mengarahkan manusia bahwa manusia dan pengalamnnya dihasilkan oleh lingkungan, manusia dibentuk oleh keadaan sekitar di luar dirinya. Pandangan ini dipertentangkan dengan anggapan bahwa manusia memiliki peran penciptaan yang lebih besar, memiliki kemauan bebas (free will), menduduki peran kunci, bahwa seseorang adalah pencipta lingkungan sekitarnya, pengendali dan bukan dikendalikan, sebagai dalang (master) bukan wayang (marionette). Dalam dua pandangan ekstrim ini.

Asumsi Metodologis

Anggapan-anggapan dasar tersebut memiliki konsekuensi penting dalam hal cara seseorang menemukan pengetahuan tentang dunoia sosial. Perbedaan asumsi ontologis, epistemologis, dan asumsi kecenderungan manusia akan membawa ahli ilmu sosial ke arah perbedaan metodologis, bahlkan di kalangan ahli ilmu alam tradisional sekalipun yang jurang perbedaan mereka sangat tipis. Menelusuri metodologi yang digunakan kedua kubu itu sangatlah mungkin. Penganut paham ekstrim pertama, analisisnya akan dipusatkan pada hubungan-hubunhan dan tatanan-tatanan antara berbagai unsur yang membentuk masyarakat dan menemukan cara yang dapat menjelaskan hubungan (relationship) dan keteraturan (regularity). Cara ini merupakan upaya mencari hukum-hukum yang dapat diberlakukan secara umum untuk menjelaskan kenyataan sosial. Penganut pandangan kedua, upayanya terarah pada berbagai masalah masayarakat yang berbeda dan dipahami dengan cara berbeda pula. Upayanya terpusat memahami cara seseorang menafsirkan, merubah dan membentuk dunia di mana ia berada. Tekanannya pada pemahaman dan pengertian khas dan unik setiap orang pada kenyataa yang umum. Menekankan sifat kenisbian kenyataan sosial. Pendekatan ini sering dianggap “tidak ilmiah” oleh penganut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan sosial.

III. BAGAN ASUMSI-ASUMSI DASAR ILMU SOSIAL (DIMENSI SUBYEKTIF-OBYEKTIF)

Nominalisme – Realisme : Debat Ontologis

Kaum nominalis beranggapan bahwa realitas sosial yang dianggap merupakan sesuatu yang berada di luar diri seseorang hanyalah sekedar nama-nama (names), konsep atau label yang digunakan menjelaskan realitas sosial. Mereka tidak menerima adanya kenyataan masyarakat di manapun yang benar-benar dapat dijelaskan oleh konsep semacam itu. Penamaan itu hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, emberi pengertian dan memahami realitas. Nominalisme sering disejajarkan dengan paham konvensionalisme. Keduanya sulit dibedakan.

Realisme beranggapan bawa realita sosial sebagai sesuatu di luar diri seseorang, merupakan kenyataan yang berujud, dapat diserap, dan merupakan tatanan nisbi yang tetap. Realitas itu ada, berwujud sebagai keutuhan yang dapat dialami (empirical entities). Mungkin kita saja yang belum menyadari dan belum memiliki penamaan atau konsep untuk menjelaskannya. Kenyataan sosial ada terpisah (independen) dari pemahaman seseorang terhadapnya. Orang dilahirkan dan kenyataan sudah ada di luar dirinya, bukan berarti orang itu yang menciptakannya. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.

Anti-positivisme – Positivisme: Debat Epistemologis

Sebutan “kaum positivis” sama seperti “kaum Borjuis” berkesan sentimen dari suatu pandangan tertentu. Istilah itu digunakan di sini untuk mengidentifikasi sikap atau pendirian epistemologis tertentu. Istilah positivisme sering dicampuradukkan dengan “empirisme”, ini mengeruhkan beberapa pengertian pokok dan bernada olok-olok.

Pendirian epistemologis kaum positivis didasarkan pada pendekatan tradisional yang digunakan dalam ilmu alam. Perbedaannya hanya dalam istilah yang digunakan. Hipotesa mengenai tatanan sosial dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental; tetapi sering juga jipotesa itu keliru dan tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya. Kaum verifikasionis (ingin membuktikan kebenaran) dan falsisikasionis (ingin membuktikan kekeliruan) hipotesa tentang tatanan sosial sependapat bahwa pengetahuan hakekatnya merupakan proses kumulatif dimana pemahaman-pemahaman baru diperoleh sebagai tambahan atas kumpulan pengetahuan atau penghapusan atas hipotesa salah yang pernah ada.

Pendirian epistemologis kaum anti-positivis beragam jenisnya, yang semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah atau menegasdkan tatanan sosial tertentu terhadap semua peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari pandangan orang-perorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai “pengamat” seperti layaknya kedudukan kaum positivis. Seseorang hanya bisa “mengerti” melalui kerangka berpikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya bisa mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial. Karena itu, ilmu sosial bersifat subyektif dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai pengaetahuan tentang apa saja.

Volunterisme – Determinisme : Debat Hakekat Manusia

Kaum determinis menganggap bahwa manusia ditentukan oleh keadaan lingkungan sekitar dimana ia berada. Kaum volunteris beranggapan manusia sepenuhnya pencipta dan berkemauan bebas. Kedua anggapan ini merupakan unsur paling hakiki dalam teori ilmu sosial.

Ideografis – Nomotetis: Debat Metodologis

Pendekatan ideografis mengatakan bahwa seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian pengetahuan langsung dari pelaku atau orang yang terlibat dalam peristiwa sosial. Pendekatan ini menekankan analisisnya secara subyektif dengan cara masuk ke dalam keadaan dan melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan langsung sedelkat mungkan dengan memahami sejarah hidup dan latar belakang para pelaku sangat penting dalam pendekatan ini. Masalah yang diteliti dibirkan muncul apa adanya.

Pendekatan nomotetis mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematik dalam penelitian, seperti metode ilmu alam dengan mengutamakan proses pengujian hipotesa dengan dalil-dalil yang baku. Cara ini juga mengutamakan teknik-teknik kuantitatif untuk menganalisis data. Survei, angket, tes kepribadian dan alat-alat baku yang sering digunakan dalam metodologi nomotetis.

IV. ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR MENGENAI SIFAT ILMU SOSIAL

Ada dua tradisi pemikiran besar yang mewarnai perkembangan ilmu sosial selama lebih duaratus tahun terakhir. Pertama adalah sosiologi positivisme. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk penelitian ilmu alam ke dalam pengkajian peristiwa sosial atau kemanusia. Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Meniru kaum realis dalam ontologinya, kaum positivis dalam epistemologinya, pandangan deterministik mengenai sifat manusia dan nomotetis dalam metodologinya.

Tradisi kedua adalah idealisme Jerman, berlawanan dengan yang pertama. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi “ruh” atau “gagasan”. Karena itu, ontologinya nominalis, epistemologinya anti-positivis damana sifat subyektifitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam, berpandangan volunteris terhadap fitrah manusia, dan menggunakan pendekatan ideografis dalam analisis sosialnya.

Sejak 70 tahun terakhir telah mulai bersentuhan antara kedua tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial. Jalan tangan dari kedua kutub memunculkan bebrapa pemikiran baru seperti fenomenologis, etnometodologi dan terori-teori aksi. Aliran tengah ini sealin menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengna baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing.

V. ANGGAPAN-ANGGAPAN DASAR TENTANG HAKEKAT MASYARAKAT

Semua pendekatan dalam mengkaji masyarakat didasarkan pada kerangka berpikir, pandangan dan anggapan-anggapan dasar tertentu.

Debat Ketertiban – Pertentangan (Order-Conflict Debate)

Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956) mengadakan pembedaan pendekatan sosiologi dalam dua pandangan: pandangan tentang sifat keseimbangan dan ketertiban sosial dan pandangan mengenai perubahan, pertentangan dan pemaksaan suatu tatanan masyarakat. Yang pertama penganutnya jauh lebih banyak dari kedua. Menurut Dawe, yanhg pertama merupaka teori sosial. Cohen (1968), Silverman (1970), Van den Bergh (1969) mwnganggap perdebatan itu semu dan tidak ada gunanya. Coser (1956) memandang pertentangan sosial berfungsi penting untuk mnenjelaskan ketertiban sosial sehingga perlu dijadikan ragam dalam teori sosial.

Cohen (1968), berdasarkan anggapan dasarnya mengenai corak sistem sosial, menyebutkan bahwa corak sistem sosial yang tertib ditandai oleh: perjanjian bersama (commitment), kerapatan (cohesion), kesetiakawanan (solidarity), kesepakatan (consensus), imbal balik (reciprocity), kerjasama (coorperation), keterpaduan (integration), ketetapan (stability), dan kekukuhan (persitence). Corak pertentangan sosial ditandai pemaksaan (coercion), pemisahan (division), percekcokan (hostility), ketidaksepakatan (dissensus), pertentangan (conflict), ketidakpaduan (malintegration) dan perubahan (change).

Ketertiban dan Pertentangan

Selanjutnya ia mengatakan bahwa Dahrendorf keliru karena membuat pemisahan antara ketertiban dan pertentangan, padahal sangat mungkin teori sosial menggabungkan unsur-unsur kedua corak masyarakat, sehingga tidk perlu diperdebatkan.

Tahun 1960-an lahir gerakan budaya penentang (counter-culture movement). Tahun 1968 revolusi Perancis gagal, maka sosiolog kemudian beralih dari kajian-kajian tentang tatanan (struktur) masyarakat ke kajian-kajian perseorangan. Gerakan kaum subyektivis dan teori aksi semakin diminati sehingga perdebatan ketertiban dan pertentangsan sosial terbenam kalah, debat fisafat dan metode ilmu sosial kian marak. Dengan tenggelamnya perdebatan itu maka pakar sosial merupakan karya Marx dan cenderung melirik Weber, Durkheim dan Pareto yang cenderung mengkaji satu sisi dari masyarakat, yaitu ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban sosial. Karena itu sangatlah penting menghidupkan kembali debat ketertiban dan pertentangan karena apa yang disebut “kesepakatan sosial” bisa jadi hasil penggunaan kekuatan yang memaksa.

Wright Mills (1959) menyatakan bahwa apa yang dikatakan Parson tentang “orientasi nilai” (value orientation) dan “tatanan nilai” (normative structure) hanyalah perlambangan untuk legitimasi kekuasaaan. Dahrendorf menyebutnya kesepakatan sebagai sistem mengesahkan tatanan kekuasaan, sedang Mills menyebutnya “penguasaan” (domination).

Analisa ketertiban sosial diwakili oleh teori-teori fungsional yang cenderung meladeni kepentingan kekuasaan, bersifat statis dalam arti ingin melanggengkan kemapanan (status quo). Teori pertentangan justru bertujuan menjelaskan proses dan sifat perubahan struktural paling mendasar dalam masyarakat. Yang ingin dituju adalah terjadinya transformasi masyarakat secara radikal.

Banyak analisis tentang ketertiban dan pertentangan ini sering salah tafsir, terjebak dan membuat pengertian menjadi suram tentang perbedaan mendadsar keduanya. Oleh karena diusulkan adanya perubahan-perubahan tertentu yang lebih tegas dan radikal dalam menganalisis keduanya, maka digantilah peristilahan yang lain sama sekali yakni: keteraturan (regul;ation) dan perubahan radikal (radical change).

VI. KETERATURAN VS PERUBAHAN RADIKAL

Istilah ini diusulkan karena telah terjadi banyak ketidakjelasan dalam membedakan corak ketertiban dan pertentangan sosial. Istilah keteraturan menunjuk pada teori sosial yang menekankan pentingnya kesatuan (unity) dan kerapatan (cohesiveness). Teori ini mendambakan adanya keteraturan dalam peristiwa kemanusiaan. Istilah perubahan radikal sarat dengan keinginan menjelaskan tentang perubahan-perubahan radikal dalam masyarakat, pertentangan-pertentangan yang mendasar dalam masyarakat, bentuk-bentuk penguasaan yang menandai masyarakat modern. Pandangan ini bertujuan membebaskan manusia dari berbagai struktur (tatanan) masyarakat yang membatasi dan menghalangi potensinya untuk berkembang. Pertanyaan-pertanyaan dasarnya adalah masalah harkat manusia, baik fisik maupun kejiwaan. Pandangan ini utopis, memandang ke depan, menanyakan apa yang mungkin dan bukan sekadar apanya saja, melihat kemungkinan berbeda dari sekadar kemapanan.

VII. DUA DIMENSI, EMPAT PARADIGMA

Sejak 1960-an telah terjadi banyak aliran pemikiran sosiologi bermunculan. Dalam perkembangannya berbagai pemikiran dasar sosiologi justru menjadi kabur. Pada awal 1970-1n telah terjadi kebuntuan dalam perdebatan sosiologi baik mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada 1960-1n. Untuk menembus kebuntuan itu diusulkan untuk menampilkan kembali beberapa unsur penting dari perdebatan yang terjadi pada 1960-an dan cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: humanis radikal, strukturalis radikal, interpretatif, fungsionalis.

Paradigma Teori Sosial

Keempat paradigma tampak berhampiran satu sama lain tetapi tetap pada pendirian masing-masing, karena memang dasar pemikirannya berbeda secara mendasar.

Sifat dan Kegunaan Empat Paradigma

Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-teoretis.

Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut “perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

Paradigma Fungsionalis

Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata (empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.

Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer, Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa dalam aliran ini.

Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada 1940-an, pemikiran sosiologi perubahan radikal mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda dalam paham fungsionalis.

Paradigma Interpretatif

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran sosiologi keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.

Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan, penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memeprjuangkan sosiologi perubahan radikal tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal. Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa penganut kelompok kiri baru.

http://azmuharam.blogspot.com/2009/03/teori-sistem-sosial-parsonians.html
dikutip darai: http://blog.unila.ac.id/rone/mata-kuliah/teori-sosiologi-modern/

Minggu, 14 Februari 2010

Tertib Sosial Menurut Thomas Hobbes, Karl Marx dan Talcott Parsons

Thomas Hobbes : Dalam menjawab pertanyaan tentang tertib sosial, Hobbes mengacu kepada Rasionalisme abad 17 yang mendasari teori terjadinya negara dan hukum atas dasar kontrak dan persetujuan rakyat. ‘Kontrak sosial’ adalah suatu fiksi, hasil teoretisasi di alam pemikiran, bahwa terbentuknya organisasi kehidupan bernegara, berikut lembaga-lembaga pemerintahannya, berasal dari kesediaan rakyat yang rasional untuk melepaskan sebagian dari hak-hak kebebasan kodratinya yang asasi, demi terselenggaranya kehidupan bersama yang tertib. Teori kontrak sosial ini mengisyaratkan adanya dasar moral pembenar bahwa kekuasaan para pejabat negara itu bukan berasal dari sumber manapun melainkan dari persetujuan rakyat. Keterikatan rakyat pada segala bentuk aturan yang ditegakkan para pejabat kekuasaan negara, dengan demikian, akan termaknakan sebagai keterikatan atas dasar kedaulatan dan persetujuan mereka sendiri. Di sini terbangunlah konsep tentang terbatasinya kebebasan kodrati rakyat oleh suatu kekuatan yang tak lain daripada kebebasan rakyat itu sendiri, ialah kebebasan mereka untuk berkontrak sosial, yang termaknakan sebagai kebebasan untuk mengurangi kebebasan (sampai batas tertentu). Hobbes justru tiba pada simpulan yang memberikan dasar pembenar pada model pemerintahan yang otokratik. Menurut Hobbes, dalam “keadaan alami sebelum terbentuknya masyarakat negara” setiap individu manusia akan berkebebasan secara tanpa batas. Dalam kehidupan natural-state itu, setiap individu manusia memiliki kebebasan untuk berbuat apapun dan/atau untuk objek apapun juga. Kebebasan tanpa batas seperti itu, wajarlah kalau akan berkonsekuensi pada terjadinya perkelahian oleh semua terhadap semua, bellum omnium contra omnes, dan setiap manusia akan berlaku sebagai serigala bagi sesamanya; homo homini lupus! Maka, situasi yang tidak menguntungkan itu hanya akan dapat diatasi apabila manusia-manusia -- yang masing-masing berkebebasan dalam keadaan alami itu – bersedia membentuk suatu komunitas politik lewat suatu kontrak sosial. Lewat kontrak sosial itu, individu-individu manusia akan dapat menikmati hak-haknya sebagai warga komunitas, asal saja mereka bersedia untuk berlaku patuh pada hukum yang berhakikat sebagai hasil kesepakatan kontraktual, dan juga untuk tunduk mutlak kepada penguasa yang bertugas menegakkan hasil kesepakatan kontraktual. Karena sang penguasa ini berposisi sebagai pihak ketiga yang bukan partisipan kontrak sosial, maka sang penguasa ini tak akan sekali-kali terikat pada kontrak sosial tersebut. Dari sinilah datangnya simpulan Hobbes, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Leviathan, bahwa kontrak sosial -- yang bertujuan menjaga tertib sosial dengan memberikan mandat penuh kepada penguasa itu -- akan membenarkan penyelenggaraan pemerintahan otokratik yang absolut

Karl Marx : Dalam menjawab pertanyaan tentang tertib sosial, Marx mengatakan bahwa setiap tertib politik, sosial, agama dan budaya ditentukan oleh setiap sistem produksi yang ada dan merupakan bagian dari struktur yang didasarkan pada hubungan ekonomi. Para pemilik modal (kapitalis) ini akan selalu memperoleh keuntungan dalam banyak sektor, termasuk kesempatan yang sangat luas di dalam memanfaatkan dan mendesakkan kepentingan-kepentingan. Bagi Marx pola-pola produksi adalah variabel yang menentukan, sehingga perubahan-perubahan padanya akan terjadinya perubahan pada hubungan-hubungan sosial. Kekuatan produksi ini menurut Marx dimiliki dan atau dikuasai oleh para pemodal (kapitalis). Si kapitalis memiliki alat-alat produksi ( peralatan dan bahan) atau uang untuk membeli. Para pekerja tidak memiliki apa-apa dan tidak dapat hidup tanpa bekerja, para pekerja itu tidak punya hak atas produk kerjanya. Produk itu sepenuhnya milik sang kapitalis yang mempekerjakannya. Dengan begitu para pekerja itu tetap miskin dan sangat tergantung kepada si kapitalis. Berdasarkan paradigma berfikir ini Marx mengedepankan teori konflik yaitu pertentangan antar kelas borjuis (pemodal; kapiltalis, tuan tanah) dengan kelas pekerja dalam bentuk revolusi sosial. Menurutnya sejarah terbentuk sebagai sejarah perjuangan kelas (history is conseptualized as history of class struggles). Pada akhirnya kelas pekerja akan memperoleh hegemoni politik dengan membentuk masyarakat sosialis untuk selanjutnya membentuk masyarakat komunis tanpa kelas (classless communist society). Dengan demikian tertib sosial akan tercapai manakala tidak ada lagi kelas-kelas dalam masyarakat.

Talcott Parson : Dalam menjawab pertanyaan tentang tertib sosial Parson mengatakan bahwa kehidupan sosial sebagai suatu sistem sosial memerlukan terjadinya ketergantungan yang berimbas pada kestabilan sosial. Sistem yang timpang karena tidak adanya kesadaran bahwa mereka merupakan sebuah kesatuan, menjadikan sistem tersebut tidak teratur. Suatu sistem sosial akan selalu terjadi keseimbangan apabila ia menjaga Safety Valve (katup pengaman) yang terkandung dalam paradigma AGIL. Fungsi diartikan sebagai segala kegiatan yang diarahkan kepada memenuhi kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan dari sebuah sistem (Rocher). Dengan menggunakan definisi itu, maka terjadi Paradigma AGIL sebagai teori Sosiologi yang dikemukakan oleh Talcott Parsons (1950). Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, di mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yang stabil. Teori AGIL adalah sebagian teori sosial yang dipaparkan oleh Parson mengenai struktur fungsional, diuraikan dalam bukunya The Social System (1937), yang bertujuan untuk membuat persatuan pada keseluruhan system sosial. AGIL merupakan akronim dari Adaptation, Goal Attainment, Integration, dan Latency atau latent pattern-maintenance, meskipun tidak terdapat skala prioritas dalam pengurutannya.

a. Adaptation yaitu kemampuan masyarakat untuk berinteraksi dengan lingkungan dan alam. Ada dua permasalahan yang perlu diperhatikan yakni, pertama segi inflexible (keras atau tak dapat diubah) yang datang dari lingkungan dan kedua adalah transformasi aktif dari transformasi. Lingkungan bisa berupa fisik dan sosial.

b. Goal-Attainment adalah persyaratan fungsional bahwa tindakan diarahkan pada tujuan-tujuan masa depan dan membuat keputusan yang sesuai dengan itu. Menurut skema alat-tujuan (means-end schema), pencapaian maksud adalah tujuan dan kegiatan penyesuaian adalah alat.

c. Integration atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem sosial setelah sebuah general agreement mengenai nilai-nilai atau norma pada masyarakat ditetapkan. Di sinilah peran nilai tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem sosial

d. Latency (Latent-Pattern-Maintenance) adalah memelihara sebuah pola, dalam hal ini nilai- nilai kemasyarakatan tertentu seperti budaya, norma, aturan dan sebagainya.

Di samping itu, Parsons menilai, keberlanjutan sebuah sistem bergantung pada system tindakan yakni:

a. Sistem memiliki properti teratur dan saling bergantung

b. Sistem cenderung mempertahankan keteraturan diri atau keseimbangan

c. Sistem mungkin statis atau bergerak

d. Sifat dasar sistem berpengaruh terhadap bentuk bagian lain

e. Sistem memelihara batas-batas dengan lingkungan

f. Alokasi dan integrasi merupakan dua proses fundamental yang diperlukan menjaga keseimbangan sistem

Menurut Parson, persyaratan kunci bagi terpeliharanya integrasi pola nilai dan norma ke dalam sistem ialah dengan internalisasi dan institusionalisasi. Internalisasi artinya ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi bagian kesadaran dari aktor tersebut. Akibatnya ketika si aktor sedang mengejar kepentingan mereka maka secara langsung dia juga sedang mengejar kepentingan sistem sosialnya

Rabu, 10 Februari 2010

Durkheim, Marx dan Weber; Perubahan Sosial

Fenomena perubahan sosial menurut Emil Durkheim (ED) adalah terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang merubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik. Solidaritas mekanis didasarkan pada homogenitas moral dan sosial, sehingga berciri; tradisional, non individualistik, keadilan kolektif, properti bersifat komunal, kehendak komunitas mendominasi kehendak individu, kekerabatan, lokalisme, sakral. Sedangkan solidaritas organis, masyarakat didasarkan pada individu-individu dengan fungsi yang berbeda yang dipersatukan oleh peran-peran komplementer. Sehingga berciri; personal, kesamaan kesempatan serta kesederajatan, regulasi kooperasi serta pertukaran, keseimbangan tugas dan kewajiban dan, otonomi berserikat. Emile Durheim juga melihat perubahan sosial sebagai sesuatu yang bersifat siklus. Maksudnya adalah Ia melihat morfologis tentang komponen-komponen struktural utama dari berbagai bentuk masyarakat menggunakan anolog-anolog metafor organis


Karl Marx pada dasarnya melihat perubahan sosial sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi dalam tata perekonomian masyarakat, terutama sebagai akibat dari pertentangan yang terus terjadi antara kelompok pemilik modal atau alat-alat produksi dengan kelompok pekerja. Karl Marx merumuskan perubahan sosial sebagai produk dari sebuah produksi (materialism). Bagi Marx perjuangan kelas menjadi motor dalam sejarah. Karena berasal dari kontradiksi fundamental antara kelas pemilik alat-alat produksi dengan kelas yang hanya memiliki tenaga untuk bekerja. Kontradiksi menjadi penyebab utama segala perubahan sosial dan awal dari semua revolusi. Dengan demikian konflik antar kelas merupakan ciri-ciri struktural dari masyarakat. Karl Marx percaya bahwa perubahan sosial adalah apa yang dibutuhkan untuk masyarakat yang lebih baik, dan untuk mendapatkan perubahan sosial harus ada konflik kelas. Perhatian utama Marx terhadap perubahan sosial adalah perubahan ekonomi. Marx mengaitkan perubahan sosial dengan konflik kelas, pertentangan antara kaum kapitalis dan kelas pekerja.

Max Weber, pada dasarnya melihat perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah akibat dari pergeseran nilai yang dijadikan orientasi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dicontohkan Masyarakat Eropa yang sekian lama terbelenggu oleh nilai Katolikisme Ortodox, kemudian berkembang pesat kehidupan sosial ekonominya atas dorongan dari nilai Protestanisme yang dirasakan lebih rasional dan lebih sesuai dengan tuntutan kehidupan modern. Max weber melihat fenomena perubahan sosial lebih pada system gagasan, system pengetahuan, system kepercayaan yang justru menjadi poros utama perubahan sosial.

Durkheim dan Marx relatif sama dalam melihat perubahan sosial yang terjadi sebagai konsekuensi dinamika dalam struktur sosial dalam masyarakat. Perbedaannya, Durkheim menekankan pada sisi ikatan solidaritas yang bergeser dari mekanistik ke organistik. Sedangkan Marx, justru tekanannya lebih kepada dikotomi pertentangan kelas yang terus terjadi sehingga menimbulkan konsekuensi terhadap perubahan dari pertentangan kelas antara kelas kapital dan buruh menuju masyarakat sosialis tanpa kelas, yakni komunis. Terkahir, Weber melihata perubahan sosial ditentukan kapasitas wewenang dan intensitas rasionalitas yang terjadi dalam kehidupan masyarakat

Selasa, 09 Februari 2010

Sekilas Pandangan Durkheim, Marx & Weber Tentang Agama


Agama menurut Emil Durkheim (ED) adalah instrumen solidaritas sosial yang berfungsi untuk mengintegrasikan sistem sosial. Mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama dan menjadikannya satu kesatuan. Dengan demikian, Agama dalam pandangan ED tidak dijelaskan dalam konteks apa adanya atau apa yang menjadi isi doktrin dan keyakinan, melainkan apa kerjanya, atau fungsi yang dijalankannya bagi sistem sosial. Agama harus selalu eksis, karena semua sistem sosial membutuhkan integrasi. Yang menarik dalam agama adalah bukan pada apa yang berbeda mengenai karakteristik keyakinan dan ritual dari agama-agama yang ada, melainkan apa yang sama dalam hal kerjanya, yakni mengenai fungsi-fungsi integratif yang dijalankan semua agama bagi sistem sosialnya.

Agama menurut Karl Marx (KM) adalah perealisasi hakikat manusia dalam angan-angan saja, tanda bahwa manusia belum berhasil merealisasikan hakekatnya. Agama adalah tanda keterasingan manusia bagi dirinya sendiri meski agama sendiri bukan dasarnya. Karena manusia adalah orang-orang kongkret yang hidup pada zaman tertentu dan sebagai warga masyarakat tertentu. Manusia tidak boleh dilepaskan dari masyarakat dan negara di mana ia hidup. Manusia merealisasikan diri hanya dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Manusia menderita dalam masyarakat nyata sehingga ia mengharapkan mencapai keselamatan di syurga. Karena itu, bukan agama yang harus dikritik melainkan masyarakat; kritik syurga menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik. Sentimen keagamaan itu sendiri merupakan produk sosial. Agama hanyalah sebagai candu sosial dan agen sosial. Sebagai variabel dependen, agama tidak memiliki kekuatan untuk membawa perubahan sosial.


Agama menurut Max Weber (MW) adalah sumber perubahan sosial dan dalam beberapa kasus menjadi variabel independen. Menurut Weber, agama memiliki hubungan yang jelas antara afiliasi keagamaan tertentu (protestan) dan kesuksesan bisnis. Asosiasi menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara keduanya. Dalam penjelasan mengenai Etika Protestan, Weber kemudian mengatakan ada klaim kausal tentang dampak keyakinan pada praktek, dan dampak yang paling baik di institusi. Dalam karya ini, Weber memberikan tantangan yang eksplisit Marx dalam menggunakan agama sebagai variabel independen, dan terutama sebagai salah satu yang dapat berdampak pada lembaga-lembaga ekonomi. Sebagai contoh, pandangan Weber tentang keselamatan sebagai gagasan utama yang mendorong tindakan, mencatat bahwa "perhatian pada pencarian keselamatan sejauh dilakukan akan memberikan konsekuensi tertentu bagi perilaku praktis di dunia, "terutama" orientasi positif untuk urusan duniawi. Weber berpendapat empat pendekatan umum untuk keselamatan. Kita dapat melarikan diri dari dunia atau menemukan cara untuk menyesuaikan diri dengan itu; istilah Weber "escape" pendekatan "dunia lain," dan penyesuaian sebagai "batin-duniawi." Weber kemudian memalingkan perhatian pada praktek pengasingan diri ( "mistisisme") atau penguasaan diri (asketisme) sehubungan dengan godaan-godaan dunia. Dari empat kemungkinan pendekatan yang muncul dari pasangan ganda ini, batin-asketisme duniawi adalah perhatian terbesar untuk Weber karena (seperti yang disarankan oleh pembahasan dalam Etika Protestan) yang mengarah pada perkembangan kapitalisme modern sebagaimana ditulis dalam “The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism” yang membicarakan tentang etika dari suatu keyakinan religius dan semangat dari sebuah sistem ekonomi serta terbangunnya hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca.


Perbedaan dan persamaan ketiga teorisasi dalam menjelaskan fenomena agama: Baik Emil Durkheim maupun Weber, sama-sama melihat bahwa agama ada keterkaitannya dengan kehidupan sosial atau memberikan dampak dan pengaruh baik langsung maupun tidak terhadap realitas kehidupan manusia. Bagi Durkheim, yang terpenting dari agama dalam kehidupan manusia adalah fungsi-fungsi integratif yang dijalankan semua agama bagi sistem sosialnya. Sedangkan Weber melihat adanya hubungan yang jelas antara afiliasi keagamaan tertentu dengan kesuksesan bisnis. Sikap keagamaan yang ditampakkan para penganut keagamaan memberikan kemungkinan pengaruh yang muncul mengarah kepada perkembangan kapitalisme modern. Intinya adalah terdapat hubungan antara etika dari suatu keyakinan religius dan semangat dari sebuah sistem ekonomi serta terbangunnya hubungan antara jiwa dengan keseimbangan neraca.


Bila Durkheim dan Weber melihat agama fungsional dalam realitas kehidupan manusia, Marx justru sebaliknya melihat agama sebagai candu atas ketidakberdayaan manusia menghadapi penderitaan. Sentimen keagamaan itu sendiri merupakan produk sosial. Agama hanyalah sebagai candu sosial dan agen sosial. Sebagai variabel dependen, agama tidak memiliki kekuatan untuk membawa perubahan sosial. Manusia merealisasikan diri hanya dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena itu agama menjadi tempat pelarian manusia atas ketidakberdayaannya melawan penderitaan yang diciptakan “negara” dalam bentuknya yang nyata. Dengan demikian apabila Durkheim melihat fenomena agama sebagai fungsional untuk mengintegrasikan sistem sosial, Weber justru melihat fenomena agama sebagai faktor yang dapat mempengaruhi keyakinan religius terhadap perkembangan kapitalisme modern. Sedangkan Marx melihat fenomena agama sebagai simbol “pelampiasan” atas ketakberdayaan manusia dalam menghadapi realitas hidupnya.

Senin, 08 Februari 2010

Anomie dan Alienasi; Konsep Teori Sosial Durkheim & Marx

 Anomi menurut Emil Durkheim adalah keterasingan yang dialami individu dari lingkungan masyarakatnya. Hal ini terjadi karena pencungkirbalikan status dan peran sosial sebagai akibat perubahan dan pembagian pekerjaan dalam masyarakat. Perubahan sosial yang sangat mendasar telah menempatkan pada suatu keadaan anomi atau situasi yang sama sekali tidak dipahaminya. Keadaan semacam ini yang menurut Durkheim sebagai salah satu sebab seseorang melakukan bunuh diri atau yang disebut anomi suicide. Ketertarikan Emil Durkheim untuk mengkaji dan menjelaskan anomie adalah karena Durkheim memusatkan perhatiannya atau memfokuskan perhatiannya pada solidaritas sosial sebagai salah satu fungsi penting dari tatanan sosial: individu memiliki tempat yang ditetapkan di dunia yang diciptakan dan diperkuat oleh nilai-nilai sosial dari moralitas, agama, dan patriotisme. Dia mengamati bahwa tingkat solidaritas akan lebih kuat atau lebih lemah dalam masyarakat yang berbeda, dan dia juga mengamati bahwa beberapa kekuatan sosial modern cenderung merusak moral dan memperlemah kohesi sosial - penciptaan kota-kota besar, misalnya. Dalam teorinya tentang bunuh diri, ia menyoroti situasi "anomi" untuk merujuk pada keadaan individu yang hubungannya dengan seluruh tatanan sosial yang lemah, dan ia menjelaskan perbedaan dalam tingkat bunuh diri di masyarakat sebagai hasil dari berbagai tingkat solidaritas dan sebaliknya. Disamping itu, ketertarikan Duekheim dalam mengkaji anomi adalah karena anomi merupakan ketegangan antara fakta sosial dan kemauan individu yang mengakibatkan patologis sosial, penyimpangan prilaku atau deviance behavior yang terjadi pada individu disebabkan semakin rendahnya integrasi sosial, kohesivitas, solidaritas, tingkat kebersamaan. Selain itu anomi adalah merupakan fakta sosial yang ada dalam dunia kehidupan sosial.

Alienasi menurut Karl Marx adalah merujuk kepada pemisahan hal-hal yang secara alamiah merupakan milik bersama, atau membangun antagonisme di antara hal-hal yang secara pas sudah berada dalam keselarasan. Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik dari kapitalisme. Teori Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi industrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tak pernah menjadi otonom, yakni manusia yang merealisasi-diri dalam setiap arti yang signifikan, kecuali lewat cara realisasi yang diinginkan kaum borjuis.

Alienasi dalam masyarakat kapitalis terjadi karena di dalam kerja, setiap orang berkontribusi pada kemakmuran bersama. Namun, mereka hanya bisa mengekspresikan secara mendasar aspek sosial dari individualitas lewat sistem produksi yang tidak dimiliki secara sosial, atau secara publik. Namun, hal ini juga berlaku untuk perusahaan yang dimiliki swasta, di mana masing-masing individu berfungsi sebagai instrumen, bukan sebagai makhluk sosial.

Marx mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme. Pertama, manusia teralienasi dari alam. Kedua, manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri. Ketiga, manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya –being—sebagai anggota dari human-species). Kempat, manusia teralienasi dari manusia lain.

Jika anomie pada Durkheim dilihat sebagai bagian dari keterasingan individu terhadap solidaritas sosial sebagai bagian dari integrasi sosial, maka Marx melihat alineasi sebagai keterasingan sebagai hasil sistematik dari kapitalisme yang melahirkan individu sebagai instrumen dan bukan sebagai makhluk sosial.

Minggu, 07 Februari 2010

Sekilas Soal Body Vs Mind Dalam Perspektif Karl Marx & Max Weber


Untuk melihat hubungan Body dan Mind antara Marx dan Weber terlebih dahulu harus dilacak akar pemikiran Marx yang dipengaruhi oleh filsafat materialisme-dialektika, yang merupakan suatu bentuk kritiknya terhadap pemikiran ”idealisme” Hegel dan ”materialisme” Feuerbach. Bagi Hegel dialektika merupakan konsepsi penyangkalan dan pembenaran relasi yang bersifat negasi-dialektik (tesis-antitesis-sintesis). Dialektika dunia tersusun dari proses, hubungan, dinamika, konflik dan kontradiksi. Hal ini diterima oleh Marx sebagai pedoman filsafatnya meski ia menolak ”idealisme” Hegel yang menganggap ”pikiran” atau ”ide/mind” merupakan faktor primer sementara ”materi/body” sebagai faktor sekunder. Kebalikan dari Weber yang justru melihat ”pikiran” atau ”ide/mind” merupakan faktor primer. Jadi menurut Marx, dialektika adalah pengetahuan hukum-hukum umum (pertentangan, perubahan, lompatan, dorongan) dalam proses dan gerak yang terus berlaku dalam dunia materi bukan di dunia ’ide’nya Hegel. Ekonomi, yang kemudian menjadi korpus penelitian Marx, akhirnya dianggap sebagai bagian dari dialektika materialis; Marxisme ialah aliran pemikiran yang bertolak dari realitas kongkret (body) yang dirancang sebagai ”alat berpikir” untuk melakukan perubahan dunia kongkret; dunia manusia (materi). Hegel dengan ”dialektika idealis” dianggap Marx sudah tak mampu lagi membaca perubahan zaman seiring meningkatnya efek dari revolusi industri, oleh karena itu Marx lebih cenderung ke arah ”dialektika materialis”. Perubahan dari feodalisme ke borjuasi akibat semaraknya praktik kapitalisme kemudian menjadi titik tolak Marxisme. Pertentangan-pertentangan ”abadi” inilah yang kemudian dimodifikasi Marx sebagai pertentangan abadi antara kelas yang berpunya (borjuis) dan kaum tak berpunya (proletar) yang ditentukan oleh corak produksi masyarakat itu sendiri. Marx beranggapan bahwa dengan menguasai ”hak milik bersama” atas alat produksi akan menghasilkan ”kemakmuran bersama”. Lalu dengan adanya politik dan instrumen operasional lain akan tercipta masyarakat baru; masyarakat yang dikendalikan oleh kelas tak berpunya (sosialisme) hingga tercipta masyarakat tanpa kelas (komunisme). Sosialisme adalah jalan menuju komunisme.

Marx kemudian bertolak dari pandangannya bahwa tugas dari filsafat bukanlah mengartikan dunia namun bagaimana mengubah dunia untuk menampilkan konsepnya tentang materialisme-historis. Bagi Marx, hukum sejarah berlaku dialektik dalam artian sejarah adalah ”sejarah” panjang perjuangan kelas tertindas sebagai bentuk antitesis menuju sintesis. Jadi pencipta sejarah, bagi Marx, adalah massa kelas pekerja bukan bangsawan. Marx dengan demikian menentang konsepsi materialisme Feuerbach yang dianggap ahistoris. Marx lantas mengkonsepsikan materialisme-historis sebagai konstruksi sejarah masyarakat yang berasal dari basis material dalam suatu proses daya cipta (produksi), pemenuhan kebutuhan hidup dan penciptaan ulang (reproduksi) kebutuhan masyarakat yang tanpa henti.

Marx mengatakan, “pada hakekatnya saya ada karena saya sadar”, tafsiran lainnya adalah ”body” menentukan ”mind”. Wujud konkritnya adalah kekuatan individu sebagai anggota masyarakat ditentukan, dikendalikan atau dibingkai, dipaksa, didorong oleh kekuatan masyarakat dalam bentuk struktur sosial dan pranata sosial yang berbasis determinasi materialistik. Dengan perkataan lain bahwa gagasan individu (perilaku individu) sebagai anggota masyarakat diformat, diatur dan dinyakinkan oleh kekuatan norma ekternal dari dirinya yang merupakan cerminan atau pantulan atas dasar kepentingan kelas-kelas ekomomi (materialistis/ekonomi).

Weber berbeda dengan Marx, yang memberi penekanan pada pemikiran yang bertolak dari realitas kongkret yang dirancang sebagai ”alat berpikir” untuk melakukan perubahan dunia kongkret atau dunia manusia (materi). Weber menekankan individu dan arti subyektif dalam tindakan yang sedang dilaksanakan oleh manusia. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian Timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di Barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Menurut Weber, Marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Pandangan serupa itu harus berpusat pada dunia budaya—pada ideal-ideal manusia, nilai-nilai, dan realisasi kemajuannya dalam sejarah. Arti-arti subyektif sangat penting dalam definisi Weber. Tujuan Weber adalah untuk masuk ke arti-arti subyektif yang berhubungan dengan pelbagai “katagori interaksi manusia”. Untuk menggunakannya dalam membedakan antara tipe-tipe struktur sosial dan untuk memahami arah perubahan sosial yang besar dalam masyarakat-masyarakat Barat.. Menurut Weber, hanya individu-individulah yang riil secara obyektif, dan bahwa masyarakat hanyalah satu nama yang menunjuk pada sekumpulan individu-individu. Konsep struktur sosial atau tipe-tipe fakta sosial lainnya yang lebih daripada individu dan perilakunya serta transaksinya dianggap sebagai suatu abstraksi spekulatif tanpa suatu dasar apa pun dalam dunia empiris.




Jumat, 15 Januari 2010

SEKILAS TENTANG TEORI STRUKTURALISME



A. PENDAHULUAN


Sepanjang tiga atau empat puluh tahun silam, fungsionalisme dan strukturalisme barangkali merupakan tradisi intelektual yang terkemuka dalam teori sosial. Dalam beberapa aspek, strukturalisme dan fungsionalisme memiliki kesamaan asal usul, dan sama-sama memiliki sifat penting. Silsilah keduanya dapat ditelusuri kembali ke Durkheim, seperti yang tercermin untuk contoh fungsionalisme melalui karya Radcliffe-Brown dan Malinoski, dan untuk strukturalisme dalam karya Saussure dan Mauss.

Dalam karya Saussure secara berurutan karya para penulis aliran Praha, strukturalisme muncul sebagai pendekatan terhadap linguistik. Namun dalam bentuk teori sosial, strukturalisme paling tepat didefinisikan sebagai penerapan model-model linguistik yang dipengaruhi oleh linguistik struktural untuk menjabarkan fenomena sosial dan kultural.

Strukturalisme merupakan gerakan pemikiran yang kembali ke bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam wacana ilmu-ilmu sosial, strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke wilayah sosial. Realitas sosial adalah “teks” atau bahasa, dan bahasa selalu memiliki dua sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan sebagai sisi eksekutif bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda atau tata bahasa), dan sebagai “tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified). Semenjak strukturalisme inilah muncul pendapat bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter (arbitrary) .

Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam bidang antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh apra ahli bidang linguistik. Proses inilah yang kemudian melahirkan strukturalisme Levi-Strauss ini.

Untuk selanjutnya perkembangan teori dan teoritisi strukturalisme akan dideskripsikan melalui dua tokoh teori strukturalisme, yakni Ferdinand Saussure dan Levis-Strauss. Kedua teoritisi strukturalisme ini dalam teori-teori sosial memberikan kontribusi yang relatif dominan terkait kemunculan teori strukturalisme.


B. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA FERDINAND DE SAUSSURE

Riwayat Hidup Ferdinan du Saussure

Ferdinand de Saussure lahir di Genewa pada tanggal 26 November 1857 dari keluarga Protestan Perancis (Huguenot) yang beremigrasi dari daerah Lorraine ketika perang agama pada akhir abad ke-16. Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris), yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan pada tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh besar linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann .

Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli linguistik Amerika, William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878, Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles dans les langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba Dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar doktor (dengan prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig dengan disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke Paris.

Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah lebih dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahkan gelar profesor dalam bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Berkat ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa, Saussure didaulat sebagai bapak strukturalis. Saussure mengatakan, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi (forma) dan bukan benda (substansial).

Seperti yang ditunjukan Saussure dalam karyanya Course in General Linguistics, dalam sejarah linguistik, pendekatan Saussure pada umumnya dianggap menentang dua pandangan kontemporer yang berpengaruh tentang bahasa. Pertama, pandangan Lancelot dan Grammaire de Port Royal, karya dari Arnaud, di mana bahasa dilihat sebagai cerminan pikiran dan didasarkan atas logika universal. Bahasa dipandang sebagai sesuatu yang bersifat rasional. Pandangan kedua datang dari ilmu linguistik abad kesembilan belas, dimana sejarah bahasa tertentu dianggap bisa menjelaskan situasi bahasa pada masa yang sama. Dalam kasus kedua, bahasa Sangsakerta yang merupakan bahasa suci India Kuno yang dianggap menjadi bahasa yang tertua, diyakini menjadi bahasa yang memberikan hubungan saling keterkaitan dengan semua bahasa, sehingga pada akhirnya bahasa dan sejarahnya menjadi satu kesatuan.



Teori dan Karya Ferdinan de Saussure

Strukturalisme adalah cara berpikir yang mendasari semua pemikiran abad modern ini, dan linguistik merupakan salah satu ilmu yang paling sistematis dalam bidang humaniora. Kedua kegiatan itu dasar-dasarnya diletakkan oleh sarjana Swiss, Ferdinand de Saussure, pada awal abad ke-20 dalam kuliah-kuliahnya yang berjudul Cours de Linguistique Generale Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan .

Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat). Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam pendekatan ilmu-ilmu humaniora dan alam. Akan tetapi, introduksi metode struktural dalam berbagai bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada wilayah filosofis.

Dalam konteks filosofis, strukturalisme berperan penting dalam meramu teori-teori pengetahuan yang berpusat pada wilayah bahasa maupun budaya. Oleh karenanya, epistemologi bahasa maupun budaya sangat inheren dalam merengkuh nilai-nilai kemanusiaan yang tercerabut pada wilayah interdisipliner. Begitu pun, ketika struktur pengetahuan mengupas unsur-unsur filosofis yang memanifestasikan subjek dan objek pengetahuan, sehingga memperkuat landasan filosofis yang dibangun dalam struktur karya maupun bahasa. Untuk itulah, ketika kita mengkaji gerakan pemikiran filsafat, maka yang perlu dikedepankan adalah membaca pemikirannya. Sehingga, memberikan acuan fundamental bagi kita untuk menginterpretasi gerakan pemikiran tersebut pada wilayah struktur karya maupun bahasa.

Dalam pandangan Steven Best dan Douglas Kellner, strukturalisme merupakan konsep-konsep struktural linguistik dalam sains manusia yang mereka gunakan untuk merekonstruksi dasar yang lebih mapan. Levis-Strauss, misalnya, menerapkan analisis linguistik terhadap kajian sosial mitologi, sistem kekeluargaan dan fenomena antropologis, sedangkan Lacan mengembangkan psikoanalisa struktural dan Althusser mengembangkan Marxisme struktural. Itulah sebabnya, kenapa strukturalis diatur oleh kode dan aturan-aturan yang tak sadar, seperti ketika bahasa membentuk makna melalui serangkaian oposisi biner yang berbeda-beda, atau ketika mitologi mengatur prilaku makna dan teks menurut sistem atau aturan kode.

Saussure adalah orang yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa untuk memahami sistem tanda atau simbol dengan menggunakan analisis struktural dalam kehidupan masyarakat. Saussure mengatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, alasannya, karena bahan penelitiannya menggunakan bahasa yang bersifat otonom. Bahasa, menurut Saussure, adalah sistem tanda yang paling lengkap karena mengungkapkan gagasan struktural yang terungkap dalam sistem tanda dan simbol tersebut. Dengan demikian, bahasa hanyalah penting dalam sistem interdisipliner yang tercakup pada wilayah nilai dan makna sehingga memperkuat landasan filosofis yang kita analisis. Kajian Saussure memang tak lepas dari aspek linguistik, sehingga analisis strukturalisme yang digagasnya mempunyai relevansi dengan sistem tanda maupun bahasa. Itulah kenapa, strukturalisme berupaya mengisolasi struktur umum aktivitas manusia dengan mengaplikasikan analogi pertamanya dalam bidang linguistik.

Seperti diketahui, bahwa lingiustik struktural melakukan empat perubahan dasar. Pertama, linguistik struktural bergeser dari kajian fenomena linguistik sadar ke kajian infratuktur tak sadarnya. Kedua, linguistik struktural tidak melihat pengertian sebagai entitas independen, dan menempatkan hubungan antar pengertian sebagai landasan analisisnya. Ketiga, linguistik struktural memperkenalkan konsep sistem. Keempat, berusaha menemukan sistem hukum umum.

Walaupun melakukan perubahan secara mendasar, strukturalisme yang digagas Saussure banyak mendapatkan kritik pedas dari berbagai filosofis yang kompeten dalam bidang strukturalisme. Salah satunya adalah Derrida yang secara tegas mengkritik landasan filosofis strukturalisme Saussure. Pertama, ia meragukan kemungkinan hukum umum. Kedua, ia mempertanyakan oposisi antara subjek dan objek, yang menjadi dasar diskripsi yang objektif. Menurut Derrida, diskripsi objek tidak dapat dilepaskan dari pola hasrat subjek. Ketiga, ia mempertanyakan struktur oposisi biner. Ia mengajak kita untuk memahami oposisi bukan dalam pengertian lain, tetapi harus didasarkan pada pemahaman yang holistik mengenai persamaan yang seimbang, sehingga tidak terjadi pertentangan gagasan yang hanya akan melahirkan kejumudan dalam ranah filsafat.

Namun demikian, kita harus yakin bahwa tujuan seluruh aktivitas strukturalis, dalam bidang pemikiran maupun bahasa adalah untuk membentuk kembali sebuah objek dan melalui proses ini, juga akan diperkenalkan aturan-aturan fungsi dari objek tersebut. Sehingga, strukturalisme secara efektif merupakan kesan objek (simulacrum) yang menghasilkan sesuatu yang bisa dilihat atau bahkan tidak menghasilkan ketidakjelasan dalam objek natural. Dalam konteks inilah, strukturalisme menekankan pada penurunan subjektivitas dan makna yanng berbeda dengan keutamaan sistem simbol, ketidaksadaran, dan hubungan sosial.

Dalam model ini, makna bukan merupakan ciptaan dan tujuan subjek otonom transparan yang dibentuk melalui hubungan dalam bahasa, sehingga subjektivitas dilihat dalam konteks konstruksi sosial dan linguistik. Itulah sebabnya, kenapa parole atau kegunaan khusus bahasa oleh subjek-subjek individual ditentukan oleh langue, atau sistem bahasa itu sendiri. Analisis strukturalis baru dalam beberapa hal merupakan produk perubahan linguistik yang berakar dari teori semiotika Saussure. Ia berpendapat bahwa bahasa dapat dianalisa dalam hal hukum operasi terakhirnya, tanpa mengacu pada sifat dan evolusi historisnya, sehingga Saussure menginterpretasikan tanda linguistik (linguistic sign) sebagai sesuatu yang terbentuk dari dua bagian yang terkait secara integral atau sebuah komponen akuistik-visual, tanda dan komponen konseptual, dan petanda (signified). Maka tak berlebihan, kalau Saussure menekankan dua sifat bahasa yang merupakan nilai terpenting dalam memahami perkembangan teori kontemporer. Pertama, dia melihat tanda linguistik bersifat arbiter, yaitu tidak ada hubungan alamiah antara tanda dan penanda. Kedua, dia menekankan bahwa tanda merupakan sesuatu yang berbeda, yaitu sistem makna telah memperoleh signifikansinya. Karena di dalam bahasa, hanya terdapat perbedaan-perbedaan "tanpa term-term positif" .

Berangkat dari analisis strukturalisme di atas, gagasan yang paling mendasar dari Saussure tentang strukturalisme adalah sebagai berikut. Pertama, diakronis dan sinkronis. Yaitu, suatu bidang ilmu yang tidak hanya dapat dilakukan menurut perkembangannya, melainkan juga melalui struktur yang se zaman. Kedua, langue-parole. Langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah dan telah menjadi konvensi. Sementara parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual. Ketiga, sintagmatik dan paradikmatik (asosiatif). Sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan karena bersifat asosiatif (sistem). Keempat, penanda dan petanda. Saussure menampilkan tiga istilah dalam teori ini, yaitu tanda bahasa (sign), penanda (signifier), dan petanda (signified).

Menurutnya, setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tak terpisahkan, karena masing-masing saling membutuhkan. Dengan demikian, gagasan strukturalisme Saussure lebih menekankan pada aspek linguistik yang berupa bahasa, sistem tanda, simbol, maupun kode dalam bahasa itu sendiri. Sehingga tak heran, kalau Saussure dikenal sebagai bapak linguistik yang sangat kompeten dalam menganalisis makna dibalik teks bahasa maupun simbol-simbol yang melatarbelakanginya.

Bagi banyak orang, seperti ahli antropologi Claude Levi-Strauss, atau ahli sosiologi Pierre Bourdieu, atau ahli piskoanalisis Jacques Lacan, seperti jugan Roland Barthers dalam kritik sastra dan semiotika, pandangan Saussure ini membuka jalan bagi pendekatan yang lebih tajam dan sistematis terhadap ilmu-ilmu kemanusiaan, pendekatan yang berusaha secara serius untuk memahami keunggulan lingkup sosio-kultural pada manusia.

Mungkin keberatan utama pada penerjemahan penekanan Saussure terhadap struktur ke dalam kehidupan sosial dan kultural adalah karena ia memberi cukup banyak kesempatan pada peranan praktek dan otonomi individu. Upaya kebebasan manusia sebagai hasil dari kehidupan sosial. Dan bukan sebagai asal usul atau sebab, menjadikannya di mata beberapa peneliti tampak agak terbatas.

C. RIWAYAT HIDUP DAN KARYA CLAUDE LEVI-STRAUSS
Riwayat Hidup Claude Levi-Strauss
Levi-Strauss dilahirkan pada 28 November 1905 di Brussles, Belgia. Ia adalah keturunan Yahudi. Ayahnya bernama Raymond Levi-Strauss seorang artis dan juga anggota keluarga intelektual Yahudi Perancis (Intelectual French Jewish familily). Sedangkan ibunya bernama Emma Levy. Minat utama Levi-Strauss sebenarnya adalah ilmu hukum. Ia mempelajari hukum di fakultas hukum Paris pada tahun 1927. Di tahun yang sama ia juga mempelajari filsafat di universitas Sorbonne. Ia pernah sukses dalam bidang hukum ketika ia telah mendapatkan licence dalam bidang hukum. Penguasaan dalam bidang hukum mengenai aliran-aliran filsafat materialisme historis ini turut mendorong kesuksesannya dalam bidang antropologi.

Hal yang paling penting dan sangat berpengaruh terhadap loyalitasnya di bidang antropologi adalah ketika ia membaca buku Primitive Society yang ditulis oleh Robert Lowie. Buku itu cukup mengesankan bagi Levi-Strauss dan mendorongnya untuk mengadakan beberapa studi mengenai masyarakat primitif. Bahkan ia menjadi bosan mengajar di Mont de-Marsan lycee dan berkeinginan untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.

Apa yang diharapkan oleh Levi-Strauss, akhirnya terkabulkan setelah ia berkesempatan menjadi pengajar di Universtias Sao Paulo, Brazil. Di universitas ini ia memiliki kesempatan untuk keliling ke daerah-daerah pedalaman Brazil, serta mengunjungi berbagai suku Indian yang selama itu boleh dikatakan belum terjamah oleh peradaban Barat. Dari ekpedisi yang di dukung oleh Musee de 1’Hummed dan musium di kota Sao Paulo ini memberi kesempatan kepadanya untuk mempelajari orang-orang Indian Caduveo dan Bororo.

Pengalaman perjalanannya menjelajah daerah-daerah terpencil itu ditulisnya dalam sebuah buku yang berjudul Tristes Tropique. Buku ini bercerita tentang penderitaan orang-orang Indian di belantara Amazone. Berawal dari buku inilah yang menjadikan Levi-Strauss terkenal sampai kenegara asalnya yakni Prancis. Ia bahkan telah menghasilkan suatu karya yang sangat penting di bidang antropologi yang sesungguhnya sangat jauh dari studi formal yang dimilikinya.

Karir Levi-Strauss sempat mengalami kendala saat ia diberi kewajiban militer. Ia ditugaskan dibagian pos telekomunikasi di bidang sensor telegram. Sampai akhirnya ia diangkat menjadi liaison officer, yaitu petugas penghubung. Namun dalam situasi yang seperti itu tetap tidak menghalangi dirinya untuk menjadikannya seorang professor. Ia pun akhirnya dibebaskan dari kewajiban militer setelah menjadi seorang professor. Halangan tidak hanya sempai disitu, ia juga mengalami diskriminasi ras. Ia dipecat dari jabatannya karena ia adalah seorang Yahudi. Akhirnya Levi-Strauss diselamatkan oleh program Yayasan Rockefeller yang memiliki program penyelamatan ilmuwan dan pemikir-pemikir Eropa berdarah Yahudi di Amerika Serikat. Dari program ini Levi-Strauss berhasil datang ke New York dan selamat dari pembantaian tentara Nazi yang anti terhadap orang-orang Yahudi.

Di daerah Greenwich Village, Levi-Strauss tinggal. Di kota New York inilah Levi-Strauss semakin banyak memiliki peluang mengembangkan keilmuannya. Ia banyak berkomunikasi dengan para ilmuan buangan dari Prancis, seperti Maz Ernst, Franz Boas, Ruth Benedict, A.L. Kroever dan Ralph Linton. Ia pun berkesempatan mengajar mata kuliah etnologi di New York Ecole Libre des Hautes Etudes, yang didirikan oleh para intelektual pelarian dari Prancis.

Selama hidupnya Levi-Strauss pernah menduki jabatan-jabatan setrategis terutama di bidang pendidikan. Pada tahun 1935 sampai 1939 ia diangkat sebagai seorang Professor di Universitas Sao Paolo yang kemudian melakukan beberapa ekspedisi ke Brazil. Pada tahun 1942 sampai 1945 ia diangkat sebagai professor di New School for Social Reseach. Pada tahun 1959 ia menjadi direktur The Ecole Practique des Hautes Etude, yang bersamaan pula dengan kedudukannya sebagai pimpinan Sicial Antropology pada College de France.

Faktor yang memainkan peranan penting dalam membentuk alur pergulatan intlektualitas Levi-Strauss adalah penafsiran ulang terhadap karya dan pemikiran Mauss yang merupakan hasil didikan Durkheim. Levi-Strauss bukanlah seorang emperisis. Namun demikian, ia selalu berpandangan bahwa ia adalah seorang ahli antropologi struktural. Sebagai yang diilhami oleh Saussure, secara umum antropologi struktural menitikberatkan perhatian pada bagaimana unsur-unsur dari suatu sistem bergabung bersama-sama, bukannya pada nilai intrinsik mereka.

Tokoh sentral strukturalisme Prancis ini bahkan oleh Kurzweil (1980:13) digelari sebagai bapak strukturalisme. Levis-Strauss menerapkan strukturalisme ke bidang yang lebih luas, ke seluruh bentuk komunikasi.


Teori dan Karya Levi-Strauss

Lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Trites Tropique (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson.

Bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impresi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak. Sedangkan bagi Levi-Strauss, telaah antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya, Levi-Strauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa.

Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik.

Menurut Strauss, untuk mengetahui makna struktur dalam bidang antropologi, perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri. Prinsip dasar struktur yang dimaksud disini adalah bahwa struktur sosial tidak berkaitan dengan realitas empiris, melainkan berkaitan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut . Struktur menjadi penting untuk diketahui karena memberikan banyak informasi terhadap makna. Bangunan dari model-model itu yang akan membentuk struktur sosial.

Menurut Levi-Strauss ada empat syarat model agar terbentuk struktur sosial;

1.Sebuah struktur menawarkan sebuah karakter sistem. Struktur terdiri atas elemen-elemen seperti sebuah modifikasi apa saja, yang salah satunya akan menyeret modifikasi seluruh elemen lainnya.

2.Seluruh model termasuk dalam sebuah kelompok transformasi, di mana masing-masing berhubungan dengan sebuah model dari keluarga yang sama, sehingga seluruh transformasi ini membentuk sekelompok model.

3.Sifat-sifat yang telah ditunjukan sebelumnya tadi memungkinkan kita untuk memprakirakan dengan cara apa model akan beraksi menyangkut modifikasi salah satu dari sekian elemennya.

4.Model itu harus dibangun dengan cara sedemikian rupa sehingga keberfungsiannya bisa bertanggung jawab atas semua kejadian yang diobservasi.

Agar pemahaman mengenai teori strukturalisme Levi-Strauss lebih baik, perlu disampaikan beberapa tokoh yang cukup berpegaruh terhadap lahirnya teori ini. Di antara mereka yang sangat berpengaruh terhadap pandangan Levi-Strauss adalah; Ferdinan de Saussure, Roman Jakobson dan Nikolay Trobetzkoy. Dari ketiga pemikir linguistik ini, Levi-Strauss memiliki keyakinan bahwa studi sosial bisa dilakukan dengan model linguistik yaitu yang bersifat struktural.

Strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut;

1.Dalam strukturalisme ada angapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa.

2.Para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Kemampuan tersebut adalah kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyususun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah kompolit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial terhadap suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia.

3.Mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah regulasi yang tampak melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain.

4.Relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapakan akan dapat menjadi lebih utuh.

Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Disamping itu juga Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat.



D. PERKEMBANGAN TEORI-TEORI STRUKTURALISME

Strukturalisme muncul dalam dunia akademis pada paruh kedua abad ke-20, dan tumbuh menjadi salah satu pendekatan yang paling populer di bidang akademis berkaitan dengan analisis bahasa, budaya, dan masyarakat. Karya Ferdinand de Saussure tentang linguistik umumnya dianggap sebagai titik awal dari strukturalisme. Istilah "strukturalisme" itu sendiri muncul dalam karya-karya Perancis antropolog Claude Lévi-Strauss, dan memperkenalkannya di Perancis dengan "gerakan strukturalis".

Menurut Lash sebagai pangkal tolak kemunculan strukturalisme, post strukturalisme dan post modernisme adalah meluas melalui pemikiran Prancis pada tahun 1960-an. Strukturalisme itu sendiri adalah sebuah reaksi terhadap humanisme Prancis, terutama terhadap eksistensialisme Jean-Paul Sartre.

Strukturalisme dari Strauss kemudian mempengaruhi tokoh pemikir lainnya seperti Louis Althusser, psikoanalis Jacques Lacan, serta Marxisme struktural dari Nicos Poulantzas. Sebagian besar anggota gerakan ini tidak menggambarkan diri sebagai bagian dari gerakan tersebut. Strukturalisme terkait erat dengan semiotika. Dalam perkembangan berikutnya, post-strukturalisme berusaha untuk membedakan diri dari penggunaan sederhana metode struktural. Dekonstruksi adalah sebuah upaya untuk memutuskan hubungan dengan cara berpikir strukturalistik. Beberapa intelektual seperti Julia Kristeva, misalnya, mengambil strukturalisme (dan formalisme Rusia) untuk titik awal kemudian menjadi menonjol pasca-strukturalis. Strukturalisme bahkan telah memiliki pengaruh di berbagai tingkatan dalam ilmu-ilmu sosial termasuk pengaruh besar terhadap di bidang sosiologi.

Strukturalisme adalah sebuah pendekatan terhadap ilmu-ilmu manusia yang berupaya untuk menganalisis bidang tertentu (misalnya, mitologi) sebagai sistem yang kompleks dari bagian-bagian yang saling terkait. Itu dimulai dalam linguistik dengan karya Ferdinand de Saussure (1857-1913), tetapi banyak cendekiawan Prancis dianggap memiliki aplikasi yang lebih luas, dan model segera diubah dan diterapkan pada bidang-bidang lain, seperti antropologi, psikologi, psikoanalisis, sastra teori dan arsitektur. Hal ini mengantarkan strukturalisme tidak hanya metode, tetapi juga sebuah gerakan intelektual yang selama ini menjadikan eksistensialisme sebagai tumpuan di tahun 1960-an Perancis.

Menurut Alison Assiter, terdapat empat ide umum mengenai strukturalisme yang membentuk 'kecenderungan intelektual'. Pertama, struktur apa yang menentukan posisi setiap unsur dari keseluruhan. Kedua, strukturalis percaya bahwa setiap sistem memiliki struktur. Ketiga, strukturalis tertarik dalam 'struktural' hukum yang berhubungan dengan hidup berdampingan daripada perubahan. Dan akhirnya struktur adalah 'hal-hal nyata' yang terletak di bawah permukaan atau penampilan makna.

Untuk selanjutnya, teori strukturalisme dengan segala dinamika dan perdebatan yang menyertainya, terus mengalami perkembangan. Jhon Lechte dalam 50 filsuf kontemporer bahkan mengelompokan periodesasi perkembangan teori strukturalisme menjadi, strukturalisme awal, strukturalisme dan post-strukturalisme. Masing-masing tahap perkembangan diwakili oleh tokoh teoritisi seperti pada era strukturalisme awal; Bachelard, Bakhtin, Canguilhem, Cavailles, Freud, Mauss dan Merleau-Ponty. Era strukturalisme di antaranya adalah Althusser, Benveniste, Bourdieu, Chomsky, Dumezil, Genette, Jakobson, Lacan, Levi-Strauss, Metz dan Serres. Sedangkan era pemikiran post-strukturalisme, dimunculkan tokohnya masing-masing Bataille, Deleuze, Deridda, Foucault dan Levinas.

Di antara teoritisi strukturalisme tersebut, Levi-Strauss lebih dikenal dalam karya-karyanya sebagai tokoh aliran strukturalisme. Meskipun harus tetap diakui bahwa dalam perkembangannya, setiap karya Levi-Strauss tidak dapat sepenuhnya membebaskan diri dari pengaruh pemikiran tokoh strukturalis lainnya. Meski terinspirasi kajian strukturalisme dan linguistik dari Saussure tetapi Levi-Strauss memperluas wilayah kajian ke bidang-bidang lain, termasuk di antaranya di bidang antropologi.

Di Prancis, strukturalisme semula berkembang agak tersendat. Namun berkat perjuangan kaum strukturalis dalam menentang gagasan kaum faktualitas yang diwariskan kaum positivisme dan individualitas yang ditekankan eksistensialisme, ternyata strukturalisme mendapatkan tempat dan momentum yang tepat. Bahkan, strukturalisme linguistik pasca-Saussure dan strukturalisme antropologi lambat-laun makin semarak. Belakangan muncul pula Raymond picard sebagai wakil kritik lama dan Roland Barthes sebagai wakil kritik baru.

Ada tiga kecenderungan perkembangan strukturalisme di Prancis; Pertama, kritik strukturalisme dengan tokoh sentral, antara lain, Merleau-Ponty dan Barthes. Kedua, naratologi strukturalis yang bersandar pada gagasan Vladimir Propp dan versus Greimas. Ketiga, deskripsi teks strukturalis-linguistik khasnya lewat gagasan Claude Levis-Strauss dan Michael Riffaterre.

Setelah kemunculannya, teori strukturalisme juga banyak memperoleh kritik dan terjebak dalam ruang perdebatan yang berkepanjangan dari berbagai aspek dan pendekatan. Reaksi terhadap strukturalisme semakin terasa sejak munculnya gagasan post-strukturalis yang diperkenalkan Deridda. Meski di Amerika Deridda dikenal sebagai tokoh post-strukturalis tetapi di Prancis tetap saja ia diposisikan sebagai strukturalis. Kenyataan bahwa tidak ada teori sosial yang bertahan secara kaku dalam merespon perubahan-perubahan yang terjadi baik di tingkat politik, sosial maupun intelektual. Strukturalisme seiring dengan kemunculan pemikir-pemikir baru yang menjadikannya sebagai wilayah dan basis kajian tidak dapat bebas dari seleksi alami perdebatan teoritik dan metodologi sebagaimana teori sosial lainnya.

Strukturalisme mulai kurang populer dari post-strukturalis dan dekonstruksi terutama karena strukturalis dipandang ahistoris dan terlalu deterministik terhadap kekuatan struktural kemampuan individu untuk bertindak. Saat pergolakan politik tahun 1960-an dan 1970-an (dan khususnya pemberontakan mahasiswa Mei 1968) mulai mempengaruhi akademisi, isu-isu kekuasaan dan perjuangan politik mengalihkan pusat perhatian orang. Tahun 1980-an, dekonstruksi dan penekanannya pada ambiguitas fundamental bahasa - lebih daripada kristalin struktur logis - menjadi justru menjadi lebih populer.

Kritik terhadap teori strukturasi yang berkembang sekaligus menunjukkan bahwa alur perjalanan kemajuan teori-teori sosial justru muncul dari gagasan dan pemikiran teoritik sebelumnya. Gidden misalnya, mengatakan dalam kritiknya terhadap strukturalisme bahwa, bahasa sebagai sistem tanda yang bersifat arbitrase ketika diterapkan ke dalam ilmu-ilmu sosial, juga jika hanya secara analogis, implikasinya cukup jauh. Apa yang utama dalam analisis sosial adalah menemukan “kode tersembunyi” yang ada dibalik gejala kasat mata, sebagaimana langue menjadi kunci otonom di balik parole. “Kode tersembunyi” itulah struktur. Tindakan individual dalam ruang dan waktu tertentu hanyalah suatu kebetulan. Kalau mau mengerti masyarakat kapitalis, misalnya, bidiklah logika-internal kinerja ‘modal’. Ada paralel antara perspektif strukturalis dan fungsionalis, yaitu pengebawahan pelaku dan tindakan pelaku, waktu, ruang, dan proses adalah soal kebetulan. Dalam kritik Giddens, perspektif ini merupakan “penolakan yang penuh skandal terhadap subjek”.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Shri, H., 2006, Strukturalisme Levi-Strauss Mitos dan Karya Sastra, kepel Press, Yogyakarta.

Assiter, A 1984, 'Althusser dan strukturalisme', jurnal British sosiologi, vol. 35, no. 2, Blackwell Publishing,

B. Herry Priyono, Sebuah Terobosan Teoritis, dalam Majalah Basis, no. 01-02, Januari-Pebruari 2000

Ferdinand de Saussure, Pengantar Linguistik Umum (Jogyakarta: Gajah Mada University Press, 1993)

Fokema DW dan Elrud Kunne-Ibsch, Teori Sastra Abad Kedua Puluh, terjemahan J. Praptadiharja dan Kiplar Silaban, Jakarta; Gramedia, 1988.

Fokkema, D.W., 1998, Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Theories of Literature in the Twentieth Century), Gramedia, Jakarta

Giddens Anthony, Problematika Utama dalam Teori Sosial: Aksi, Struktur dan Kontradiksi dalam Analisis Sosial, Dariyatno (Pentj.), Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009

Harimurti Kridalaksana, Mongin Ferdinand De Saussure Peletak Dasar Struturalisme dan Linguistik Modern, Jakarta, Yayasan Obor, 2005

Ignas Kladen, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta, LP3S, 1987, hal, xii.

Lash, Scott, Introduction, in Post-Structuralist and Post-Modernist Sosciology, Aldershot, Eng, Edwar Elgar,

Lechte Jhon, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Admiranto (pentj), Yogyakarta, Kanisius, 2005

Levi-Strauss, Structural Analysis in linguistics and antropology, dalam Structural Antropology Jacobson Claire (pentj), Harmondsworth, Penguin Books, 1972,

http://postinus.wordpress.com, tanggal 4 Januari 2010 pkl. 22.07 WIB

M. Takdir ilahi, www.kabarindonesia.com, 4 Januari 2010 Pkl. 21.43

Ritzer George, Teori Sosiologi Modern, Alimandan (pentj.) Prenada Media, Jakarta, 2005

Strauss, Levi, Claude, 1958, Anthropologie Structurale (Terj. Antropologi Struktural, 2007), Kreasi Wacana, Yogyakarta.

http://wajirannet.blogspot.com/2008/01/strukturalisme-levi-strauss, tanggal 4 Januari 2010, Pkl. 1.01

http://en.wikipedia.org/wiki/Structuralism, tanggal 5 Januari 2010, pkl. 7.04. WIB

http://mahayana-mahadewa, tanggal 5 Januari 2010 pkl, 6.19 WIB.